Akankah “Pendidikan Tinggi Konvensional” Tetap Bertahan?
- R. B. Sukmara (Author)
- 16 Mei 2020
- 9 menit membaca
Diperbarui: 12 Jan 2023

Diawali dengan sebuah judul yang mempertanyakan eksistensi pendidikan tinggi konvensional dimasa depan, artikel ini coba untuk memberikan sebuah perspektif alternative dari sebuah sistem pendidikan kampus yang ada saat ini.
Sebelum kita ngoceh lebih lanjut tentang hal ini, pertama saya akan definisikan dulu apa itu pendidikan tinggi konvesional yang saya maksud dalam artikel ini.
Pendidikan Tinggi Konvensional
Pendidikan Tinggi Konvensional (conventional higher education) yang saya maksud disini adalah sistem pembelajaran di level pendidikan tinggi yang dilakukan dengan cara yang sama sejak ratusan tahun lalu, yaitu proses interaksi antara peserta didik dan pendidik dilakukan secara tatap muka atau face to face (F2F) didalam sebuah tempat yang bernama kelas. Sebuah kondisi dimana kedua pihak ini harus berada di lokasi yang sama dengan jumlah peserta didik yang bervariasi tergantung pada besar kecilnya ruang kelas.
Model pembelajaran kelas fisik ini menuntut biaya operasional yang tinggi, mulai dari penyediaan kebutuhan utama seperti gedung kampus, ruang kelas, meja kursi, listrik dan air, hingga pada penyediaan fasilitas penunjang seperti penyejuk ruangan, layar monitor (LCD Projector) dan fasilitas penunjang lainnya. Dengan biaya operasional yang tinggi, namun jumlah peserta didik tetap terbatas, tergantung kapasitas dari penyelenggaranya (perguruan tinggi). Saat ini, kapasitas peserta didik disetiap jurusan dan di setiap kampus berkisar antara 30 hingga 150 orang per angkatan.
Karena kampus konvensional biaya operasionalnya tinggi, maka biaya belajarpun tentu akan sejalan dengan hal tersebut. SPP atau bahasa kerennya tution fee yang dibebankan pada peserta didik tentu akan menjadi besar juga. Meskipun ada juga perguruan tinggi yang menawarkan biaya SPP yang ringan karena adanya subsidi dari Pemerintah (biasanya perguruan tinggi berstatus negeri). Hal ini menyebabkan akses menuju pendidikan tinggi menjadi kembali “terbatas” hanya kepada mereka yang sanggup menanggung biaya tersebut.
Selain faktor biaya, ada hal yang lain yang sulit untuk menyesuaikan perubahan dan dinamika dari kondisi sosial, yaitu fleksibilitas. Fleksibilitas proses belajar dalam sistem konvensional bisa dikatakan sangat rendah. Meskipun penyesuaian fleksibilitas sudah dicoba pada beberapa kampus yang menawarkan program paruh waktu (part-time) dengan label “kelas karyawan”.
Rendahnya tingkat fleksibilitas ruang dan waktu pada sistem pendidikan tinggi konvensional menambah keraguan apakah sistem konvensional ini dapat bertahan dimasa mendatang?.
Lompatan Besar dimasa Pandemik
Dalam kacamata perkembangan pendidikan, masa pandemic Covid19 seperti saat ini memberikan sebuah dampak positif. Perubahan tektonik (tectonic shifting) pada sistem pendidikan terjadi dalam waktu yang sangat cepat dan massif. Yang dulunya orang masih begitu skeptic pada sistem pembelajaran tanpa tatap muka, sekarang semua orang dan hampir semua perguruan tinggi (khususnya di Indonesia) mau tidak mau harus melakukan kelas tanpa tatap muka atau kelas daring (online classroom). Bahkan kampus-kampus baru yang dengan pengalaman operasional pendidikan dibawah 10 tahun pun dipaksa harus mengikuti langkah tersebut.
Keberadaan teknologi berbasis internet menjadi dewa penolong dimasa pandemic. Kelas-kelas konvensional beralih menjadi kelas online dengan memanfaatkan berbagai aplikasi video conferencing seperti Google Meet, Webex, Zoom, GoToMeeting, Skype, OpenMeeting dan aplikasi lainnya. Proses belajar mengajar terselamatkan dan ilmu tetap bisa disebarkan. Meskipun dengan catatan bahwa proses belajar mengajar akan “baik” jika kondisi koneksi internet lancar.
Dengan perubahan yang mendadak, maka tidak semua orang dapat beradaptasi dengan cepat. Cukup banyak orang, baik dari kalangan pendidik atau peserta didik yang mengalami hal yang saya sebut dengan istilah “technological jetlag”. Mereka mengalami berbagai macam kebingungan, baik dalam mengoperasikan aplikasi video conferencing hingga menyesuaikan diri untuk berbicara dengan layar dan kamera. Jujur, saya sendiri pun merasakan hal tersebut. Ketika saya melakukan videoconferencing tanpa melihat audiens, saya merasa seperti ada hal yang kurang, seperti adanya penurunan engagement antara pembicara dan audiens karena interaksi yang tidak terjadi secara langsung.
Era Digital Learning
Saat ini, era pembelajaran digital atau digital learning semakin merasuk kedalam sendi-sendi kehidupan masyarakat sejak pertama kali penggunaan mesin sebagai media pengetesan (testing machine) untuk pertama kalinaya. Mesin ini ditemukan pada tahun 1924 oleh seorang Professor dari Ohio State University. Lalu, tahun 1980an personal komputer pertama ditemukan oleh Machintos (sekarang dikenal dengan brand Apple). Setelah saat itu, orang dapat memiliki computer personal dirumah mereka masing-masing, ditambah lagi perkembangan internet yang semakin besar.
Pada awal tahun 1990an, beberapa sekolah mulai membuat perkuliahan secara online dan membuat internet sebagai jembatan pendidikan untuk orang-orang yang tidak dapat pergi kekampus karena alasan geografis. Sistem pembelajaran daring (online) juga akhirnya dapat membantu peserta didik yang lebih besar.
Lalu, pada akhir tahun 1990an, tepatnya tahun 1999 akhirnya terminology “e-learning” mulai digunakan. Penggunaan learning management system (LMS) semakin luas digunakan. Beberapa universitas mulai mengembangkan sistemnya masing-masing. Sistem itu meliputi :
Pertukaran materi pembelajaran
Ujian
Komunikasi dengan banyak cara
Pelacakan perkembangan pendidikan (progress).
Tahun 2000an dunia industry mulai menggunakan e-learning untuk melatih para karyawannya. Para karyawan baru dan lama sekarang telah memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan basis pengetahuan industry mereka.
Tahun 2010, dunia pendidikan digitan memasuki era yang lebih tinggi. Terispirasi oleh sosial media, dunia pendidikan pun bergerak maju kearah yang lebih advance. MOOCs (Massive open online course) mulai diperkenalkan dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Orang dapat memperoleh pembelajaran pada bidang yang mereka minati secara mudah. Masyarakat bebas memilih ilmu apa yang ingin mereka pelajari, semuanya tersedia secara online. Bahkan saat ini pun kita dapat menikmati perkulihan dari kampus-kapus top diseluruh dunia secara online pula. Meskipun kita tidak benar-benar berada di kampus-kapus top dunia itu, setidaknya kita dapat merasakan materi yang diajarkan dikampus-kampus top dunia tersebut.
Saat ini, penggunaan berbagai macam platform baik berbasis aplikasi ataupun website seperti Youtube pun dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Seperti halnya NPTEL India (National Programme on Technology Ehanced Learning) yang secara massif menyebarkan video perkuliahan di platform Youtube, dimana kadang saya juga belajar dari video-video mereka.
Dengan semakin berkembangnya dunia kuliah online, maka semakin banyak juga para penggiat perkuliahan dari ini. Saat ini kita bisa lihat, selain dari kampus-kampus formal atau lembaga pendidikan/riset formal, ada banyak juga perusahaan-perusahaan rintisan (startup-company) yang bergerak di bidang pendidikan online ini. Sebagai contoh adalah Cousera, edX, Udemy, Iversity, ALISON, OpenLearning, EduKart, Future Learn, Class Central, Digital Promise, Asian MOOCs, OERu, Udacity dan sebagainya. Di Indonesia sendiri ada juga yang menawarkan hal yang sama seperti MOOCs Universitas Terbuka dan IndonesiaX.
Akhir-akhir ini pun para startup dibidang perkuliahan online ini semakin bergerak maju dengan menggandeng kampus-kampus top dunia dalam penyelenggaraan kelas online mereka. Bahkan sudah ada yang berani mengeluarkan sebuah Kredennsial Alternatif (Alternative Credential) sebagai legitimasi alternatif setara dengan Ijazah yaitu Nanodegree dari Udacity, Micromaster dari edX dan Educator Microcredential dari Digital Promise.
Selain kredensial alternatif berbentuk mini, saat ini pun semakin banyak univeristas-universitas dunia yang menawarkan program sanjana dan pascasarjana secara online (online degree). Beberapa diantara kampus tersebut seperti, John Hopkins University, Purdue University, The George Washington University, University of Colorado Denver, University of Kentucky dan masih banyak lagi. Bahkan saat ini sudah ada universitas yang benar-benar seluruhnya online dan terakreditasi resmi oleh lembaga akreditasi pendidikan jarak jauh (distance learning) yang terdaftar di Departemen Pendidikan Amerika Serikat (Department of Education USA), nama kampus tersebut adalah University of People.
Sedangkan di Indonesia sendiri, penggunaan sistem kuliah online atau kuliah jarak jauh sangat massif digunakan di Universitas Terbuka atau yang biasa disebut UT. Dapat dikatakan bahwa UT-lah yang paling berpengalaman dalam urusan kuliah online di Indonesia.
Perbandingan antara Pembelajaran Digital dan Pembelajaran Konvensional
Membandingkan antara pembelajaran digital (Digital Learning) dan pembelajaran konvensional (Traditional Learning) masin menuai pro dan kontra. Perbandingan harus dilakukan dengan apple to apple terhadap faktor-faktor yang dibandingkan. Dalam artikel ini terdapat beberapa faktor perbandingan yang akan dibahas, yaitu fleksibilitas, umpan balik (feedback), gaya pembelajaran, biaya, sumber daya, interaksi sosial.
Fleksibilitas (Flexibility)
Satu dari fitur unggulan yang ditawarkan oleh pembelajaran digital adalah fleksibilitas. Kesibukan aktivitas/pekerjaan dari seseorang membuat waktu mereka tersita untuk hal tersebut sehingga tidak ada cukup waktu untuk masuk kedalam institusi pendidikan tradisional yang mengharuskan mereka berada didalam kelas pada waktu tertentu. Dengan pembelajaran online, mereka dapat bebas mengatur waktu bejalar mereka. Dan dengan pembelajaran digital yang berbasis pada kelas online, mereka dapat belajar tanpa harus pergi kekelas, sehingga biaya untuk “kekampus” pun dapat ditekan.
Umpan Balik (feedback)
Untuk faktor umpan balik, pembelajaran digital menawarkan level umpan balik yang lebih tinggi pada tugas-tugas. Tidak seperti perkuliahan konvensional dimana pendidik hanya memberikan komentar, umpan balik online dapat masuk pada kritikan tertulis bahkan bisa dalam bentuk video. Namun, secara umum, baik pembelajaran digital dan konvensional memiliki level umpan balik yang relatif sama, namun pembelajaran konvensional dapat lebih sering.
Gaya Pembelajaran
Dalam pembelajaran secara digital, siswa atau peserta didik cenderung lebih mandiri. Keberhasilan pembelajaran tergantung pada diri mereka sendiri. Pembelajaran digital memaksa para siswa untuk lebih proaktif dalam mempelajari materi perkuliahan secara rinci.
Karena tingkat keberhasilan tergantung dari gaya belajar masing-masing peserta didik, maka kedisiplinan dalam mengikuti proses perkuliahan menjadi kunci utama karena peluang untuk menunda-nunda pekerjaan cenderung lebih mudah dilakukan. Sedikit berbeda dengan pembelajrana konvensional, dimana ada proses tatap muka dengan pengajar, maka secara psikologis ada rasa kekhawatiran yang lebih jika menunda pekerjaan karena anda harus bertemu dengan sang pengajar.
Biaya (cost)
Untuk hal biaya, jelas disini pembelajaran digital memiliki keunggulan dibanding pembelajaran konvensional. Banyak biaya yang harus dikeluarkan pada proses pembelajaran konvensional, baik itu biaya kuliah hingga pada biaya hidup jika perkuliahan dilakukan di kota diluar tempat anda tinggal saat ini. Sedangkan pembelajaran digital memberikan banyak pilihan biaya yang rendah bahkan gratis seperti yang dilakukan University of People.
Sumber Daya (Resources)
Masalah sumber daya, ada beberapa hal yang tidak dapat dilakukan oleh pembelajaran digital, khususnya untuk bidang-bidang ilmu sains, kedokteran dan keteknikan (engineering). Anda membutuhkan peralatan khusus untuk melakukan praktikum dan kegiatan lain yang berhubungan dengan laboratorium fisik (physical lab) yang tidak dapat tergantikan secara virtual. Sedangkan untuk kasus perpustakaan, sepertinya keduanya memiliki level kemudahan yang relatif sama, karena saat ini terdapat banyak perpustakaan online (online library) atau situs-situs yang menawarkan ebook seperti GoogleBook.
Interaksi Sosial (Social interaction)
Interaksi sosial antara peserta didik dan pendidik dalam pembelajaran digital relatif menjadi hal yang tidak umum, namun tetap dapat terjadi secara regular, misal dengan video conferencing. Namun jika pembelajaran digital ditawarkan dengan bentuk video rekaman (pre-recorded video) anda tidak dapat melakukan interasi langsung kepada sang pemateri, misal bertanya. Namun, dengan video, maka anda bisa memutar ulang video tersebut untuk memahami materi secara mendalam.
Sedangkan untuk pembelajaran konvensional, interaksi sosial dapat lebih intens antara peserta didik dan pendidik. Komunikasi dapat terjadi dengan proses tatap muka dan memungkinkan untuk terjadi sebuah diskusi intens dalam kelas tersebut.
Dari banyak keunggulan yang ditawarkan oleh sistem pembelajaran digital, namun ada hal yang harus menjadi perhatian khusus dari sistem pembelajaran digital, khususnya pada skema MOOCs. Menurut Billington (2013) dalam jurnalnya yang dipublikasikan di Journal of Higher Education and Practive, ada 5 point yang masih menjadi permasalaah dari skema MOOCs, diantaranya adalah sistem penilaian, (grading systems), potensi kecurangan (cheating), Kredit mata kuliah, Permasalahan interaksi, dan prasyarat.
Sistem Penilaian (Grading system)
Karena jumlah pendaftar yang membeludak, maka sangat tidak mungkin untuk melakukan penilaian per masing-masing individu. Karena MOOCs didesain untuk mengakomodasi banyak orang, maka skema penilaian konvensional akan menjadi tidak layak secara ekonomi, kecuali hal tersebut dilakukan dengan mesin (machine graded) atau mengalokasikan biaya khusus untuk dibayarkan pada penilai (graders).
Cheating (Kecurangan)
Potensi kecurangan pada sistem pembelajaran online masih menjadi urusan dan perhatian yang paling serius. Sistem harus benar-benar dapat memverifikasi apakan yang mengikuti pembelajaran online adalah orang yang benar-benar terdaftar pada sistem pembelajaran dari tersebut. Billington memberikan contoh proses verifikasi yang dilakukan oleh Coursera, dimana siswa yang mengambil kuliah online harus menggunakan webcam untuk mengambil foto ID dan foto peserta didik. Hal yang sama juga dilakukan ketika mengumpulkan tugas, dilakukan hal yang sama untuk memastikan bahwa yang mengumpulkan tugas adalah orang yang sama. Namun disini tetap ada ketidakjelasan, bahwa apakah benar tugas tadi benar-benar dikerjakan sendiri oleh peserta didik atau ada orang lain yang mengerjakan tugas itu. Nah, disini menurut saya yang sedikit sulit, menuntut kejujuran seseorang dalam proses tersebut.
Kredit Mata Kuliah (Course)
Saat ini, beberapa universitas belum mengakui MOOC (Massive Open Online course) sebagai nilai kredit mata kuliah dari universitas tersebut. Masih terdapat ketidakjelasan dari MOOCs bahwa apakah hal tersebut setara dengan jam kredit (credit hour) sebuah perkuliahan. Dalam beberapa kasus, sertifikan dapat berasal atau tidak berasal dari universitas yang menawarkan kuliah online tersebut, meskipun Coursera juga menawarkan sertifikan dari universitas. Dewan Pendidikan Amerika (American Education Council) sedang meninjau kelayakan lima perkuliahan dengan skema MOOC, jika memenuhi standar maka mereka dianggap layak untuk mendapatkan nilai kredit dari perkuliahan online tersebut (Lederman, 2013).
Permasalahan Interaksi
Dengan skala yang besarm maka hal ini memunculkan tantangan serius bagi skema MOOC khususnya pada kualitas interaksi antara pendidik dan peserta didik. Ketika proses tatap muka tidak dimungkinkan, sehingga beberapa alternatif coba dieksplorasi. Salah satunya dengan tatap muka secara virtual atau video conferencing. Umpan balik dari proses ini secara mengejutkan adalah positif, peserta didik menemukan interaksi (secara virtual) dapat diterima dan dapat menyaingi interaksi tatap muka secara langsung (Zimmerman, 2011). Kualitas interaksi aktual tergantung pada kecanggihan dari platform yang digunakan oleh penyedia skema MOOC.
Prasyarat (Prerequites)
Skema MOOCs secara umum tidak menyarankan prasyarat sebelum memilih mata kuliah yang ingin diambil. Hal ini membuat tantangan tersediri bagi orang-orang yang mengambil mata kuliah online. Terkadang mereka mengambil mata kuliah yang baru tanpa memiliki backround yang sama dengan mata kuliah yang diambil pada perkuliahan online. Hal ini tentu juga akan berdampak pada tingkat ketuntasan seseorang dalam menyelesaikan proses perkuliahan online tersebut.
Dari seluruh pembahasan diatas, kita coba kembali pada pertanyaan awal, apakah perguruan tinggi konvensional dapat bertahan dimasa mendatang? Jawabannya masih sangat tidak jelas, tergantung pada perkembangan yang dapat ditawarkan oleh para penyedia pembelajaran-pembelajaran digital tadi. Selain itu, tentu kita juga harus tetap mempertimbangkan perkembangan respon dari masyarakat terhadap sistem pembelajaran ini, apakan mengarah ke arah yang positif atau malah sebaliknya.
Sedikit catatan bahwa, mungkin untuk bidang-bidang ilmu tertentu, khususnya non-kedokteran, non-sains dan non-keteknikan mungkin dapat lebih mudah diterima karena tidak membutukan interaksi langsung seperti praktikum ataupun kegiatan lain di laboratorium. Bidang-bidang ilmu sosial sepertinya akan lebih mudah beradaptasi dengan sistem pembelajaran digital, selain itu referensi bacaan digital sebagai sarana pendukung pun sudah banyak tersedia secara online.
Oya, ada satu hal lagi yang paling penting terkait dengan perkembangan pembelajaran online dimasa mendatang. Kesuksesan proses peralihan dari sistem pendidikan konvensional dan ke pendidikan digital tergantung pada bagaimana dunia industry atau dunia pendidikan dapat menerima dan mengakui kredensial alternatif yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pembelajran online.
Untuk pembahasan tentang bagaimana perpektif industry dalam menerima kredensial alternatif akan saya lanjutkan pada artikel berikutnya.
Jika terdapat hal yang tidak tepat dalam pembahasan ini, mohon berkenan untuk memberikan koreksi melalui kontak yang tersedia. Terima Kasih
Salam #sobatsambat
____
Salam #sobatsambat
____
Jangan lupa Like, Subscribe dan Share artikel ini kalau kalian suka ya.
(Halah kok malah koyok Youtuber wae c@k, iki lho cuma blog tok, rasah kakean polah, wkwkwkwk)
_____
RBS, March 2020
Comentarios