Kenapa Grogot Banjir?
- R. B. Sukmara (Author)
- 9 Apr 2019
- 11 menit membaca
Diperbarui: 6 Sep 2023

Permasalahan banjir masih menjadi momok bagi kota-kota di Indonesia, baik itu kota metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil, seperti Kota Tanah Grogot. Kota yang pada tanggal 29 Desember 1959 secara resmi menjadi ibukota Kabupaten Paser akhir-akhir ini mulai sering terjadi banjir dan genangan.
Pada kesempatan ini saya coba untuk mengumpulkan beberapa informasi tantang banjir yang terjadi di Tanah Grogot. Informasi saya coba himpun dari berbagai sumber, baik itu media online ataupun postingan-postingan yang ada di berbagai platform sosial media.
Berdasarkan informasi yang berhasil saya himpun, terlihat bahwa ketinggian banjir di Tanah Grogot cukup bervariasi. Ketinggian banjir berkisar antara mata kaki (sekitar 10-15cm) hingga dada orang dewasa (sekitar 120 cm) dan mungkin bisa lebih pada lokasi-lokasi tertentu. Lokasi banjir juga tersebar di beberapa titik, baik itu ditengah kota (urban area) maupun di pinggir kota (rural area). Untuk daerah kota, banjir terjadi di daerah yang tergolong padat penduduk.
Terkait dengan ketinggian banjir, maka dengan kondisi seperti itu, jelas ini akan berdampak cukup signifikan pada kerugian (loss) dan kerusakan (damage) yang akan menimpa masyarakat. Dampak yang dimaksud dapat berupa dampak langsung (direct impact) maupun dampak tidak langsung (indirect impact). Dari kedua jenis dampak tersebut, terdapat pula dampak yang bisa dihitung (tangible) dan dampak yang tidak bisa dihitung (intangible). Banjir juga memaksa beberapa kepala keluarga (household) untuk mengungsi ketempat yang aman.
Dengan adanya fakta seperti ini, pada kesempatan singkat ini saya merasa perlu untuk memberikan pembahasan terkait masalah banjir tersebut. Terlebih lagi, Kota Tanah Grogot merupakan kota tempat saya lahir dan tumbuh besar.
Sebelum kita membahas lebih dalam tentang ākenapa Grogot banjir?ā, maka kita perlu mengenal terlebih dahulu apa itu banjir dan bagaimana proses terjadinya. Pada uraian dibawah ini, saya akan coba untuk menjelaskan secara sederhana dan singkat mengenai hal tersebut.
Apa itu Banjir?
Banjir merupakan sebuah fenomena alam tapi akan menjadi perhatian serius ketika banjir tersebut melampaui kapasitas/kemampuan masyarakat yang terdampak, membahayakan nyawa dan harta benda (Jha, Bloch, & Lamond, 2012). Berdasarkan definisi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementrian PUPR), banjir didefinisikan sebagai aliran yang relatif tinggi, dan tidak tertampung lagi oleh alur sungai atau saluran (Departemen Pekerjaan Umum, 2008). Sedangkan menurut Kamus Bahasa Inggris (Oxford English Dictionary), banjir didefinisikan sebagai sebuah luapan atau gangguan dari badan air pada daratan di area terbangun yang biasanya tidak tenggelam (Jha et al., 2012). Banjir merupakan permasalahan umum yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia, terutama didaerah padat penduduk misalnya kawasan perkotaan. Oleh karena itu kerugian yang ditimbulkannya bisa sangat besar baik dari segi materi maupun kerugian jiwa (Kodoatie, 2013). Banjir juga diartikan sebagai kondisi umum atau sementara dari penggenangan sebagian atau keseluruhan dari tanah yang biasanya kering dari luapan air dipermukaan tanah (inland overflow) atau pasang surut atau akumulasi limpasan atau air permukaan yang tidak biasa dan cepat yang datang dari berbagai sumber (ASCE, 2015).
Banjir dikategorikan menjadi beberapa tipe, diantaranya (Jha et al., 2012):
Banjir perkotaan (urban flooding)
Banjir sungai (riverine/fluvial flooding)
Banjir bandang (flass flood)
Banjir rob (coastal flooding)
Banjir air tanah (groundwater flooding)
Banjir semi permanen


Lokasi Banjir di Tanah Grogot
Dari hasil penelusuran dari berbagai sumber, berikut beberapa lokasi banjir yang ada di Tanah Grogot

Catatan:
Lokasi banjir yang saya berikan hanya berdasarkan informasi dan data yang coba saya himpun dari berbagai sumber dan belum dilakukan verifikasi dilapangan.


Penyebab Banjir di Tanah Grogot
Pembahasan mengenai penyebab banjir di Tanah Grogot bukanlah hal yang mudah. Banyak faktor yang menyebabkan dan menicu terjadinya banjir, baik itu faktor alami (natural process) atau akibat manusia (human induced). Untuk mengawali, mari keta kenali terlebih dahulu bagaimana siklus air (hydrologic cycle) sebagai berikut:

Secara singkat, siklus hidrologi diawali dengan adanya penguapan air, baik itu dari laut, sungai, danau maupun badan air lainnya). Setelah proses penguapan, uap air tadi menjadi gumpalan-gumpalan awan yang nantinya akan menjadi hujan atau salju. Pada saat hujan, maka ada air yang akhirnya kembali lagi ke bumi. Saat kembali ke bumi, ada air yang kembali menjadi uap sebelum sampai ke permukaan tanah, ada air yang meresap kedalam tanah kemudian menjadi groundwater, lalu ada pula yang mengalir dipermukaan tanah sebagai limpasan permukaan (surface runoff). Semua air tadi mengalir menuju kembali ke badan air, seperti sungai, danau laut, dan juga ada yang diserap oleh tumbuhan dan dikonsumsi manusia. Sampain pada titik ini, air kembali mengulang proses dari awal (penguapan).
Dari penjelasan singkat tentang siklus air, maka perlu dipahami bahwa pada hakekatnya jumlah air dimuka bumi ini adalah tetap. Namun, apabila siklus air tadi ada yang terganggu prosesnya, maka akan terjadi masalah seperti banjir atau kekeringan.
Kembali ke permasalahan apakah penyebab banjir di Tanah grogot. Terdapat banyak kemungkinan yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat hampir selalu mengaitkan dan menyederhanakan masalah banjir sebagai akibat dari prilaku membuang sampah sembarangan atau parit yang kurang besar. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, namun ada faktor lain yang lebih signifikan dalam menyebabkan banjir. Faktor lain ini kadang tidak disadari atau bahkan luput dari perhatian masyarakat.
Faktor-faktor Penyebab Banjir di Tanah Grogot
Iklim & Curah Hujan
Membahas masalah banjir tentu erat kaitannya dengan iklim, karena hal ini berkaitan dengan jumlah curah hujan yang terjadi di suatu wilayah. Secara umum Indonesia memiliki 2 musim, yaitu musim penghujan (wet season) dan musim kemarau (dry season). Namun, untuk wilayah katulistiwa (equator line), hal ini seolah tidak kentara secara jelas, karena hujan terjadi hampir sepanjang tahun. Hal ini karena daerah Khatulistiwa merupakan wilayah pertemuan antara angina dari utara dan selatan, sehingga apabila dilihat dari cintra satelit, daerah ini selalu ditutupi oleh awan (Inter-Tropical Convergence Zone).
The Intertropical Convergence Zone (ITCZ) is a belt of low pressure between subtropical highs of the Northern and Southern Hemispheres. It moves back and forth near the equator periodically once every year. Air streams converge over ITCZ which fuels development of convective activities and formation of most tropical cyclones. On 16 June 2016, global mosaic satellite imagery showed convective developments over ITCZ. ITCZ will move northwards in the next couple of months, and more tropical cyclones will be formed by a stronger Coriolis force.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser, Tanah grogot memiliki curah hujan rata-rata bulanan antara 150 ā 290mm/bulan (BPS Paser, 2017).Berkaitan untuk masalah curah hujan, terdapat pembagian klasifikasi terhadap tinggi hujan yang terjadi di suatu wilayah, yaitu:
Hujan Sangat Ringan (Very Light Rain): < 5mm/hari
Hujan Ringan (Light Rain): 5 ā 20 mm/hari
Hujan Sedang (Moderate Rain): 20 ā 50 mm/hari
Hujan Lebat (Heavy Rain): 50 ā 100 mm/hari
Hujan Sangat Lebat (Violent Rain): > 100 mm/hari

Dilihat dari hal diatas, maka curah hujan di Tanah Grogot relatif tinggi dan sudah tentu tingginya curah hujan akan memberikan kontribusi besar terhadap jumlah debit banjir. Dan apabila debit banjir ini jumlahnya melebihi kapasitas saluran drainase, maka jelas akan terjadi banjir.
Hal ini diperkuat dengan adanya laporan tentang cuaca ekstrim (extreme weather) yang terjadi di Indonesia beberapa waktu terakhir ini. Hal ini mengakibatkan beberapa daerah mengalami curah hujan yang sangat tinggi.

Permasalahan Drainase (Lack of Drainage Systems)
Tidak hanya di tanah Grogot, permasalahan sistem drainase juga terjadi disebagian besar kota-kota di Indonesia. Adanya perubahan kapasitas drainase diakibatkan oleh adanya perubahan dimensi saluran, baik itu karena ulah manusia maupun faktor alami. Disini saya akan coba untuk menyoroti kondisi yang berkaitan dengan drainase dan banjir di Tanah Grogot.
Perubahan desain saluran drainase.
Perubahan desain saluran drainase terdapat pada Jl. Noto Sunardi dan Jl. R.A. Kartini. Perubahan desain dari awalnya merupakan saluran drainase terbuka, sekarang menjadi saluran drainase tertutup, hal ini karena adanya kebutuhan pelebaran jalan. Berdasarkan hasil pengamatan saya beberapa tahun lalu (saat pembangunan konstruksi pelebaran jalan), berikut kira-kira bentuk saluran drainase yang baru:

Dengan kondisi saluran yang tertutup dan terbagi 2 seperti diatas, maka selain terjadi pengurangan kapasitas tapi hal ini juga menyulitkan proses pemeliharaan. Terlebih beberapa titik malah melakukan āpengecoran matiā untuk kebutuhan akses menuju rumah atau toko masyarakat. Dengan adanya kesulitan dalam proses pemeliharaan, maka jika terjadi penumpukan sedimen ataupun sampah didalam saluran dan akhirnya bisa membuat buntu saluran. Jika saluran sudah buntu, maka yang terjadi setelah itu adalah banjir.
Untuk daerah jalan Noto Sunardi (daerah sekitaran RM. Pecel Madiun), terdapat beberapa blok rumah yang awalnya tidak pernah atau jarang terkena banjir/genangan, menjadi sering tergenang. Hal ini diakibatkan karena elevasi jalan R.M. Noto Sunardi telah dinaikkan. Sehingga, terdapat beberapa titik dimana posisi inlet saluran lebih tinggi dari elevasi tanah pada blok-blok rumah tersebut, sehingga air tidak dapat masuk ke saluran dan akhirnya hanya menggenang didaerah tersebut

Belum lagi permasalahan terkait arah aliran dari saluran-saluran tersebut. Apakah memang saluran-saluran drainase kota yang ada di Tanah grogot sudah sesuai dengan jalurnya atau belum. Tentu ini perlu dilakukan pengecekan dilapangan. Jangan sampai malah mengalir ke satu titik, dan titik tersebut tidak terkoneksi dengan saluran pembuang lainnya atau tidak terkoneksi dengan sungai. tentu daerah tersebut sangat berpotensi untuk banjir.
Selain daerah diatas, daerah Jl. Pangeran Menteri juga menjadi daerah langganan banjir. Sejak saya kecil (sekitar tahun 1995 ā 1997) daerah ini sudah sangat sering terendam banjir. Saya sedikit banyak paham daerah ini, karena disini banyak terdapat keluarga yang tinggal didaerah ini dan rumahnya selalu kebanjiran saat hujan deras terjadi. Terlebih pada awal tahun 2019 kemarin, banjir besar terjadi lagi di daerah ini. Jika ditelusuri, didaerah tersebut terdapat saluran yang bermuara ke sungai Jembatan Kuning di Km. 1 (dibawah Rumah jabatan Bupati Paser). Namun sepertinya kapasitas saluran ini tidak memadai untuk mengalirkan debit banjir didaerah tersebut. Ketinggian banjir ditempat ini bervariasi antara 30 cm hingga 120 cm. Hal ini diperparah dengan minimnya pemeliharaan di saluran drainase ini. Pada bulan November 2018 lalu, saya sempat iseng untuk menelusiri saluran tersebut, saya dapat kan adalah ada beberapa ruas saluran yang dipenuhi dengan semak-semak bahkan bisa dikatakan buntu. Terlebih lagi, posisi bibir saluran lebih tinggi dari lahan permukiman disekitar situ, sehingga membuat daerah itu seperti mangkok, dan akhirnya air mengumpul di lokasi tersebut.

Tata Guna/Tutupan Lahan (Land Use Land Cover)
Permasalahan tentang kapasitas drainase akan sangat terkait dengan adanya perubahan tata guna lahan/tutupan lahan. Disini saya akan coba menjelaskan tentang keterkaitan perubahan tutupan lahan dan kapasitas drainase hingga mengapa ini memicu banjir.
Dalam siklus hidrologi yang sudah saya jelaskan diatas, kita mengenal istilah limpasan air (runoff). Besaran air yang melimpas ini akan bergantung pada jenis tutupan lahan dimana air hujan jatuh. Jenis tutupan lahan ini memiliki nilai koefisien limpasan yang disebut Koefisien Pengaliran (runoff coefficient). Koefisien ini menyatakan persentase air yang melimpas diatas permukaan lahan tersebut. Nilai koefisien ini bervariasi tergantung pada kondisi lahan, jenis tanah, kemiringan lahan (slope) dan jenis perkerasan yang digunakan. Sebagai contoh, nilai koefisien taman adalah 0.2 ā 0.35 dan untuk perumahan adalah 0,6 ā 0,75. Maksudnya adalah, untuk taman maka jumlah air hujan yang menjadi runoff adalah 20% - 35%, sedangkan sisanya meresap kedalam tanah, dan untuk perumahan, terdapat 60% - 75% air hujan yang menjadi limpasan dan hanya 40% - 35% air yang bisa diresapkan kedalam tanah.


Sehingga, secara sederhana, jika semakin banyak lahan yang berubah menjadi lahan pemukiman dan jalan atau fungsi-fungsi lain yang mengurangi lahan hijau, maka tentu secara otomatis akan meningkatkan jumlah debit air yang nantinya melimpas dan akhirnya menuju saluran-saluran drainase perkotaan. Jika kapasitas saluran drainase tidak seimbang dengan jumlah air yang melimpas, ini yang menyebabkan banjir.
Dibawah ini saya coba untuk menyajikan perubahan tutupan lahan yang terjadi di Tanah grogot dan sebagian dari keseluruhan Kabupaten Paser.

Perubahan tutupan lahan dibagian hulu sungai Kandilo tentu akan berpengaruh terhadap jumlah debit limpasan dari Sungai Kandilo itu sendiri. Salah satunya adalah dengan adanya pembukaan lahan oleh salah satu tambang batu bara yang tersohor di Bumi Kabupaten Paser tersebut. Hingga hari ini, luasan lahan tambang tersebut sudah lebih dari 3 kali luas Kota Tanah Grogot. Dengan adanya pembukaan lahan dibagian hulu, maka potensi untuk terjadi peningkatan sedimentasi di sungai Kandilo tentu sangat besar. Dan pada kahirnya hal ini menyebabkan pendangkalan di sungai kandilo dan tentu mengurangi kapasitas pengaliran dari sungai itu sendiri.
Seperti yang terlihat pada gambar diatas, perubahan perkembangan kota Tanah grogot sangat signifikan, dimana lahan-lahan pemukiman baru tumbuh sangat besar. Perumahan-perumahan baru juga berkembangan sangat pesat mengikuti kebutuhan penduduk yang semakin besar. Ini tentu turut berkontribusi terhadap peningkatan debit banjir di daerah kota Tanah Grogot. Terlebih banyak perumahan-perumahan baru yang terlihat tidak menyediakan jaringan drainase yang memadai. Mungkin untuk saat ini belum begitu terlihat dampaknya, tapi untuk jangka panjang, hal itu akan menjadi masalah serius.


Pasang Surut Sungai Kandilo
Kondisi pasang surut sungai Kandilo juga sangat berpengaruh terhadap banjir di Tanah Grogot. Hal ini karena sebagian besar muara dari saluran drainase kota berada di Sungai ini. Apabila kondisi air Sungai Kandilo sedang pasang (Konda) dan terjadi hujan lebat, maka akan terjadi fenomena aliran balik (backwater phenomenon) pada saluran-saluran drainase kota, karena elevasi muka air Sungai Kandilo lebih tinggi daripada muka air saluran drainase kota.


Lalu, Seperti Apa Solusinya?
Dalam artikel ini saya coba untuk memberikan gambaran dari solusi yang bisa di implementasikan untuk mengatasi permasalahan banjir di Tanah Grogot.
Gambaran solusi yang saya akan paparkan meliputi solusi secara Struktural (hard engineering) dan non-struktural (soft engineering).
Untuk jangka pendek, solusi yang bisa dilakukan adalah segera melakukan pemeliharaan terhadap jaringan drainase kota yang sudah ada. Karena, ada kemungkinan besar terjadi sedimentasi dan penyumbatan pada saluran akibat sampah.

Selanjutnya dilakukan penanganan untuk jangka menengah dan jangka panjang. Penanganan banjir bisa dimulai dengan melakukan investigasi dan mendata daerah-daerah yang terdampak banjir. Dengan data hasil investigasi dilapangan, maka kita dapat melanjutkan untuk memetakan daerah banjir tersebut. Apabila peta daerah rawan banjir sudah didapatkan, maka dari situ kita bisa memulai untuk menyusun skala prioritas dan menentukan daerah mana yang harus menjadi prioritas utama.
Proses yang terkait dengan drainase, maka sudah saatnya Pemerintah Kota Tanah Grogot untuk memperbarui masterplan drainasenya. Karena, berdasarkan informasi yang saya peroleh pemerintah sudah pernah memiliki masterplan drainase (sekitar tahun 1987), dan ini adalah tindakan yang sangat tepat. Namun, karena kota Tanah Grogot telah berkembang dengan sangat dinamis, dimana perluasan kota dan peningkatan jumlah daerah terbangun (developed/built area) juga berubah cukup signifikan, maka saya rasa perlu untuk melakukan kajian ulang terhadap masterplan drainase yang sudah ada.
Dengan adanya masterplan drainase, maka bisa dilanjutkan dengan melakukan normalisasi pada saluran-saluran yang ada sesuai dengan masterplan drainase yang baru. Selain itu juga dapat membangun jaringan-jaringan drainase baru sesuai dengan kebutuhan yang sesuai dengan masterplan tersebut.
Perlu adanya penegasan tentang pemanfaatan ruang dan alih fungsi lahan. Baik itu sebagai perkebunan, tambang ataupun areal perumahan (residential area). Adanya alih fungsi lahan maka akan berdampak pada perubahan/peningkatan debin banjir pada suatu wilayah. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah menjaga fungsi area resapan air. Khusus untuk area hulu sungai kandilo, disana perlu diadakannya kajian terhadap peningkatan debit banjir akibat adanya perubahan fungsi lahan, dari hutan menjadi daerah perkebunan dan pertambangan.

Saya memiliki perhatian khusus pada perumahan-perumahan baru yang bermunculan di Kota Tanah Grogot. Memang kita tidak bisa menapikkan bahwa kebutuhan akan tempat tinggal telah meningkat dengan tajam seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tanah Grogot. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah ketersediaan jaringan drainase pada perumahan tersebut. Hal ini sering sekali diabaikan oleh para pengembang. Memang hal ini tidak bisa digeneralisir, tapi dari pengamatan saya beberapa waktu lalu, saya melihat banyak perumahan-perumahan baru tidak memiliki saluran drainase. Kalaupun ada saluran drainase, tapi tidak jelas arah alirannya kemana, bahkan ada yang tiba-tiba salurannya buntu di bagian ujung. Sehingga menurut saya saluran drainase ini hanya seperti penghias perumahan saja, tapi fungsinya minim.
Menurut saya, sebelum terlambat, saya rasa perlu untuk menerapkan aturan Delta Q Zero pada perumahan-perumahan yang ada di Tanah Grogot. Peraturan ini sudah diterapkan di beberapa kota di Indonesia, salah satu yang saya tau adalah Surabaya. Peraturan ini cukup effektif untuk mengontrol debit banjir. Secara sederhana, aturan ini mencoba untuk mengontrol debit yang dihasilkan dari perubahan fungsi lahan, missal dari lahan terbuka menjadi perumahan. Pengembang perumahan dituntun untuk menyediakan kolam retensi yang mencakup seluruh areal perumahannya, sehingga volume limpasan tidak membebani saluran drainase perkotaan.
Selain hal diatas, saya raya perlu adanya peningkatan kesadaran masyarakat (people awareness) terhadap masalah banjir. Mengedukasi masyarakat untu sadar akan bahaya datangnya banjir. Selain tidak membuang sampah sembarangan, perlu pula diberikan pengertian terhadap bagaimana menjaga saluran drainase didepan rumah masing-masing. Perlunya penggiatan kembali program kerja bakti lingkungan tentu akan sangat membantu proses penanggulangan masalah banjir. Masyarakat juga perlu diedukasi dan diberikan informasi terhadap daerah mana saja yang rawan banjir dan kapan saja waktu yang berpotensi untuk banjir.
Regulasi
Terkait dengan regulasi, dari semua solusi yang telah diuraikan diatas, maka hanya akan menjadi sia-sia apabila tidak ada regulasi yang jelas dan keinginan pemerintah (political willingness) yang kuat untuk mengatasi masalah banjir ini. Perlu adanya sebuah kajian untuk memitigasi banjir ditanah grogot. Peran pemerintah sebagai pemangku kepentingan sangat vital untuk keberlanjutan program penyelesaian masalah banjir di Tanah Grogot. Ketidakstabilan regulasi antar periode kepemimpinan tentu akan menghambat proses penyelesaian masalah banjir dikota ini. Koordinasi antar stakeholder dan institusi pemerintah sangat diperlukan, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, Dinas Pekerjaan Umum, BPBD, Dinas Kehutana dan Lingkungan Hidup. Hal ini karena penanganan masalah banjir harus dilakukan secara terintegrasi.

Selain itu, untuk penanganan banjir yang lebih advance, kedepan jika fasilitas sudah memungkinkan maka bisa dilakukan sistem peringatan dini (early warning systems) terhadap kejadian banjir. Dimana metode soft engineering ini dapat meminimalisir dampak, kerugian dan kerusakan yang diakibatkan bencana banjir.
Cukup sekian uraian dan pembahasan yang bisa saya tuliskan. Goal dari artikel yang saya tulis ini adalah untuk memberikan informasi atau setidaknya gambaran secara umum untuk permasalahan banjir di Tanah Grogot. Pembahasan dan solusi diatas hanya merupakan gambaran awal dan bersifat umum dari permasalahan banjir di Tanah Grogot. Hal ini karena keterbatasan data dan sumberdaya yang saya miliki. Untuk hasil dan solusi yang akurat, maka diperlukan kajian yang lebih detail dan mendalam untuk mengatasi permasalah banjir ini.
Untuk membahas lebih jauh tentang Banjir, Pengelolaan Banjir dan apa itu Integrated Flood Management akan saya coba tuliskan di artikel-artikel selanjutnya.
RBS,
Taiwan, 9 April 2019
Apabila ada pembahasan yang kurang tepat, silahkan berikan pesan disini.
Several References
ASCE. (2015). Flood Resistant Design and Construction. Reston, Virginia, USA: American Society of Civil Engineers. https://doi.org/10.1061/9780784413791
BPS Paser. (2017). Kabupaten Paser Dalam Angka 2017. Tanah Grogot, Indonesia: Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser. Retrieved from https://paserkab.bps.go.id/publication/2017/08/11/d56caa262ae1e51b9e5245e7/kabupaten-paser-dalam-angka-2017.html
Departemen Pekerjaan Umum. (2008). Kamus Istilah Bidang Pekerjaan Umum. Jakarta, Indonesia: Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Retrieved from pustaka.pu.go.id
Jha, A. K., Bloch, R., & Lamond, J. (2012). Cities and Flooding: A Guide to Integrated Urban Flood Risk Management for the 21st Century (Vol. 52). Washington DC, USA: The World Bank. https://doi.org/10.1111/jors.12006_6
Kodoatie, R. J. (2013). Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota. Yogyakarta, Indonesia: Andi Publisher. Retrieved from https://books.google.com.tw/books?id=H7nVnQEACAAJ
Comentarios