top of page

Agama kok Jadi Komoditas?

  • Gambar penulis: R. B. Sukmara (Author)
    R. B. Sukmara (Author)
  • 24 Feb 2020
  • 6 menit membaca

Diperbarui: 6 Sep 2023


Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om Swastiastu, Namo Budaya dan Salam Kebajikan poro dulur #sobatsambat kabeh…


Kali ini saya akan membahas hal yang sebenarnya terlalu edgy untuk dibahas, terutama jika ini dibahas di Indonesia. Tapi, setelah saya pikir-pikir, keresahan ini begitu menggangu pikiran saya dan saya merasa kerasahan ini perlu untuk dituangkan. Jadi saya coba untuk menuangkan keresahan dan opini saya terkait hal ini. Semoga tidak ada ormas yang tiba-tiba menggerebek rumah saya karena hal ini.


Okay, kita langsung menuju ke inti permasalahan yaitu Agama yang akhirnya turun kasta menjadi sebuah komoditas. Mungkin bagi beberapa orang pasti akan tidak setuju dengan opini saya ini namun mungkin ada juga yang setuju. Ya wajar sih, karena ini masih bisa menjadi topik yang debateable.

Sebelum saya lanjut, ada baiknya kalau saya berikan disclaimer dulu agar tidak jadi sebuah masalah dikemudian hari, apalagi kalau sampe buronan ormas, hehe.


Jadi disclaimernya gini, saya sebagai penulis bukan lah orang yang memiliki background pendidikan agama secara formal. Semua pendidikan saya lalui di sekolah umum. Jadi, pembahasan ini murni dari opini pribadi dan melihat beberapa respon dari masyarakat umum terkait hal ini.

Okay kita kembali ke topik utama.


Kenapa saya bilang Agama menjadi turun kasta, yang karena akhir-akhir ini saya banyak melihat fakta-fakta dilapangan yang membuat saya tercengang. Mungkin sudah jadi rahasia umum bahwa saat ini apapun yang dibalut dengan agama, maka akan mudah menjadi dagangan yang laris manis. Pemberian label agama memberikan ruang terendiri pada masyarakat Indonesia. Label ini seolah dapat menjamin bahwa pembelinya dan pemakaianya akan menjadi orang yang paling agamis bahkan paling layak untuk masuk surga. Padahal keputusan untuk orang masuk surga atau tidak hanya Tuhan yang tau. Bahkan orang paling alim didunia ini pun belum bisa menjamin dirinya untuk masuk surga.

Disini saya langsung saja memberikan contoh kasus yang terjadi dilapangan. Karena saya beragama Islam, maka akan lebih bijak untuk memberikan komentar di lingkungan Agama sendiri daripada saya memberikan contoh dari Agama lain. Meskipun pada prakteknya mungkin saja terjadi hal yang sama di agama lain.


Kasus pertama yang saya temui adalah penjualan pakaian atribut atau apapu yang dilabeli dengan syar’i. Untuk masalah ini ada hal yang saya sangat kurang setuju. Penambahan label syar’i ini sangat debatable terkait siapa yang memberikan sertifikasi bahwa pakaian ini sudah memenuhi kriteria tersebut. Apakah dengan menggunakan pakaian itu anda sudah dapat dikatakan sebagai orang yang syar’i? Menurut hemat saya, kan belum tentu, karena parameter syar’i bukan hanya dari hal pakaian saja tapi dari banyak hal. Yang lebih parah lagi jika pakaian syari ini diafiliasikan pada jenis atau merek pakaian tertentu. Ini akan menjadi kacau luar biasa. Untuk masyarakat awam yang dalam tanda kutip ilmu agamanya rendah dan kemampuan analisa logisnya rendah, mereka akan berfikir dan menyederhanakan bahwa parameter untuk dikatakan syar’i hanya dari atribut yang dipakai saja.


Saya pernah mendengar dan melihat berbagai jenis komoditas dagangan dengan label syariah atau agama. Komoditas itu seperti kaos, topi, jaket, bahkan casing handphone yang dilabeli i syar’i oleh sebagian orang karena disana terdapat kalimat Tauhid. Saya berfikir bahwa hal itu sangat lucu, karena hal tersebut bukan malah menjadikan kalimat tersebut menjadi mulia, namun justru sebaliknya. Membubuhkan kalimat Tauhid tidak pada tempatnya justru malah memberikan kesan bahwa kalimat tersebut hanya sebagai hal yang receh dan tidak sakral.


Saya coba mengkritisi orang-orang yang menggunakan atribut bertuliskan kalimat Tauhid. Saya paham bahwa mungkin orang yang menggunakan atribut seperti ini sebagai bentuk expresi mereka terhadap Agamanya. Namun faktanya, yang terjadi adalah adanya sikap self-claimed dari penggunanya bahwa apabila menggunakan atribut seperti itu, maka akan dianggap sebagai orang yang syar’i dan agamis. Waduh, ini malah jadi salah kaprah yang luar biasa. Tapi tak dapat dipungkiri bahwa cukup banyak orang yang berfikir seperti itu.


Memang, tidak dapat elakkan pula bahwa adanya pemikiran seperti diatas dapat memberikan labelitas tersendiri pada penggunanya. Sehingga, hal ini menjadi sebuah peluang market baru bagi para pemain industrinya. Untuk memuaskan hasrat expresif tadi, para produsen dan pengusaha berusaha untuk mencari peruntungan dengan hal itu. Mereka mencoba mengexplore lebih jauh dengan menyematkan Kalimat Tahuid ini diberbagai jenis aksesoris atau peralatan, misalnya topi, casing hape, flashdisk, atau barang-barang lainnya. Dan karena hal ini, kalimat Tauhid menjadi tidak sakral lagi. Hadeuh…


Saya berikan gambaran, misal jika kalimaat tersebut tersematkan di kaos. Normalnya sebuah pakaian tentu anda tidak akan menggunakan pakaian selama berkali-kali tanpa dicuci kan. Bayangkan jika kaos tadi harus anda cuci, anda memasukkannya kemesin cuci, bercampur dengan pakaian lain dan sebagaianya. Apakah anda tidak merasa bahwa anda sudah merendahkan kalimat sakral tersebut ? Belum lagi jika anda harus pergi ketoilet saat anda mengenakan aksesoris tadi. Anda akhirnya secara tidak sadar bahwa anda membawa kalimat Tauhid kedalam toilet. Apa anda haru lepas baju dulu sebelum ketoilet ?


Okay, kembali lagi kemasalah pakaian syar’i tadi. Maksud saya adalah untuk memberikan pemahaman bahwa untuk menjadi orang yang syar’i tidaklah cukup hanya dengan penggunaan atribut atau pakaiannya saja. Namun, ada banyak hal lainnya untuk menuju kesana. Jangan sampai kita mengkerdilkan nilai syar’i hanya sebatas pakaian saja.


Selanjutnya kita bergeser ke hal lainnya.


Penggunaan label agama pun banyak terjadi dalam dunia bisnis dan investasi karena akhir-akhir masyarakat Indonesia sedang bereufuria dengan label agama. Sudah berbagai macam contoh pelabelan agama yang digunakan dalam program bisnis atau investasi yang akhirnya berujung pada kasus penipuan. Saya sebenarnya miris dengan hal ini karena betapa teganya orang yang menggunakan ini, membawa nama Tuhan lalu dengan sadar mereka menggunakannya untuk menipu orang lain. Kalau menurut saya ini adalah orang yang lebih setan dari pada setan. Setan saja tidak berani bawa-bawa nama Tuhan untuk ngibulin manusia. Lha ini ada manusia yang ngibulin manusia pake nama Tuhan. Wadoww.


Contoh yang sudah terjadi beberapa waktu lalu yaitu adanya bisnis agensi travel umroh yang akhirnya terjerat kasus penipuan. Mereka memanfaatkan animo besar masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah ini sebagai komoditas baru. Penawaran umroh yang jauh dibawa harga standart tentu menggiurkan bagi para masyarakat yang berkeinginan besar untuk umroh namun kemampuan finansial pas-pasan. Namun karena ini sudah terlajur berlabel agama, sehingga masyarakat menjadi buta logika terhadap keganjilan tersebut.


Akhirnya, lagi-lagi pemanfaatan agama sebagai komoditas terjadi disini. Saya hanya tidak habis pikir bahwa bagaimana mungkin pemilik agen travel umroh yang kita kira akan memiliki akhlak yang baik justri malah lebih (maaf) bajingan daripada setan. Tapi yang begitulah, penipu tetap saja penipu, meskipun tampilannya bak seperti orang yang paling agamis. Saya tidak bisa membayangkan perasaan orang yang sudah berusaha sekuat tenaga mengumpulkan uang hanya untuk bisa berkunjung Baitullah, ternyata uang itu hilang tanpa bisa berangkat. Apakah para pelaku ini pernah berfikir sampai kesana? Wallahualam..


Masih dari kasus bisnis dan investasi. Ada banyak terungkap adanya bisnis investasi bodong berlabel agama yang ujung-ujungnya ternyata penipuan. Seperti kasus investasi kebun kurma yang terjadi di Jakarta dan beberapa perumahan bodong berlabel syariah diberbagai tempat di Indonesia. Penggunaan label agama memang memudahkan para pelaku untuk menggaet investor awam untuk melakukan investasi. Padahal mereka belum paham dengan skema investasi yang ditawarkan. Namun karena ada label agamanya, maka pelaku akan mudah mendapatkan trust dari calon korbannya.


Dari beberapa kejadian diatas akhirnya kekhawaritan saya beberapa tahun lalu akhirnya terjawab. Kekhawatiran saya bahwa akan terjadi exploitasi agama menjadi sangat nyata. Pelabelan agama kepada masyaraat awam yang (maaf) kemampuan analisa logisnya rendah akan menjadi pasar yang sangat empuk bagi para penipu-penipu berkedok syariah ini.


Ngomong-ngomong masalah komoditas dan exploitasi agama, ada satu hal yang cukup menarik yang akan saya bahas di bagian akhir ini. Yaitu penyalahgunaan solidaritas keagamaan yang akhirnya tetap pada masalah meraup keuntungan.


Saya akan bahas dan sedikit mengkritisi terkait hal menarik ini. Anda tentu masih ingat dengan kasus Palestine dan Uygur yang masih belum berakhir hingga hari ini. Ya, dari kedua kasus tersebut ternyata ada saja oknum yang menemukan celah peruntungan dari hal tersebut. Anda tentu pernah mendengar atau tau tentang adanya kaos-kaos yang bertuliskan atau bertemakan #saveuyghur atau #savepalestine? Bagaimana menurut anda ?


Kalau menurut saya itu adalah bentuk exploitasi dari solidaritas keagamaan. Saya melihat banyak sekali penjual kaos atau aksesoris apapun yang bertemakan Palestine dan Uyghur. Mereka mengexploitasi kasus dan kesedihan yang terjadi disana untuk mengeruk keuntungan pribadi mereka. Disaat saudara-saudara kita di dua tempat tersebut menderita, disini anda mengexploitasinya dengan berjualan kaos-kaos tersebut yang sebenarnya mungkin oknum produsennya tidak pernah memikirkan kondisi saudara-saudara kita disana.


Mereka membuat kaos-kaos itu dan menjualnya ke khalayak umum dan mendapat keuntungan dari sana. Memang dari yang saya temukan di Mbah Google, para produsen atau penjual kaos-kaos tersebut ada sebagian kecil yang menyebutkan bahwa sebagian keuntungan akan disumbangkan sebagai bentuk amal. Tapi pernahkan anda berfikir tantang berapa persen kah yang disumbangkan dari keuntungan tersebut? apakah itu setimpal dengan penderitaan mereka yang semakin terexpliotasi? Apakah benar uang tersebut akan diberikan kesana? Apakah penerimanya benar benar tepat? atau jangan-jangan malah ada yang disumbangkan ke organisme teroris international yang kebetulan juga nebeng embel-embel agama? Jawabannya silahkan anda pikirkan sendiri.


Oke, cukup sekian dulu pembahasannya. Kalau nanti ada hal baru terkait dengan masalah agama yang jadi komoditas maka pembahasan selanjutnya akan saya jabarkan ke part selanjutnya.

Wassalam, salam #sobatsambat


Jangan lupa Like, Subscribe dan Share artikel ini kalau kalian suka ya.

(Halah kok malah koyok Youtuber wae c@k, iki lho cuma blog tok, rasah kakean polah, wkwkwkwk)


_____


RBS, Feb 2020

Comments


"Allah is He who created death and life to test you as to which of you is best in deed" - Qur'an, Al Mulk 67:2

06 Logo FIX RED 2.png

Yakinlah Sambatmu kelak akan mengubah dunia

@2023 Bennysukmara.com

bottom of page