Menyoal "S3 Vatikan" hingga Otoritas Dakwah
- R. B. Sukmara (Author)
- 12 Mar 2020
- 3 menit membaca
Diperbarui: 12 Jan 2023

Akhir-akhir ini ada berita yang cukup booming dimedia, khususnya di media sosial. Berita yang terkait dengan sebuah unggahan tentang adanya banner sebuah acara pengajian yang mengundang seorang pembicara bernama BS dan ada keterangan yang cukup membuat kezel Netizen. Background pembicara yang tertulis dalam banner itu adalah “Mualaf, Mantan Pastor dan Lulusan S3 Vatikan”.
Setelah berita itu muncul dan trending, maka tak sedikit juga netizen yang akhirnya mulai meragukan background sang Pembicara dan menaruh curiga atas hal tersebut. Banyak netizen yang mencoba menelusuri background sang pembicara ini, tertutama masalah jenjang pendidikan S3 Vatikan dan Mantan Pastor.
Berdasarkan penelusuran memang tidak ada universitas yang berkedudukan di Kota Vatikan. Nama Vatikan sendiri pun tidak pernah terdaftar sebagai lembaga pendidikan, melainkan sebuah negara monarki yang dipimpin oleh seorang Paus. Lalu bagaimana mungkin sang Pembicara ini mengaku sebagai lulusan Vatikan, S3 pula lagi. Wadidaw…
Lanjut ke masalah kata “mantan Pastor”. Ada sebuah unggahan di Twitter dari seorang pemuka agama Katholik, yaitu Romo Josaphat Kokoh Prihatanto atau Romo Jost Kokoh melalu akun pribadinya. Romo Jost Kokoh merasa heran karena ada banyak orang yang mudah terbohongi dengan gelar S3 milik sang pembicara dan heran pula tiba-tiba sang pembicara muncul sebagai seorang ustadz dan mengaku sebagai mantan Pastor. Lha, yang jelas-jelas Romo saja heran apalagi saya yang cuma orang awam.
Saya tidak akan mengomentari lebih lanjut terkait hal tersebut. Namun, jika memang terdapat unsur kebohongan dalam informasi yang diberikan dan disebarkan oleh saudara BS ini melalui ceramahnya, maka akan ada 2 umat beragama yang akan dirugikan, yaitu Umat Katholik dan Umat Islam.
Kerugian disini maksudnya, jika memang ada unsur kebohongan dalam apa yang diucapkan dan disebarkan oleh oknum BS tersebut, maka umat Katholik akan dirugikan karena ada informasi yang tidak tepat terkait Agama Katholik dan berdampak pada menjelekkan Agama Katolik. Sedangkan bagi umat Islam, maka kerugiannya, ya kita telah dibohongi oleh oknum ini.
Terlepas dari adanya kontroversi terkait saudara BS ini, ada satu hal yang cukup membuat pikiran saya menjadi terusik akibat hal ini, yaitu begitu mudahnya kita sebagai umat Islam untuk percaya begitu saja dengan oknum-oknum menjual label Mualaf, mantan pastor atau Ustadz yang belum jelas keilmuannya dan memberikan meraka panggung-panggung untuk berceramah.
Bukankan kita harusnya lebih kritis terkait hal ini. Kita harus sedikit lebih kritis untuk mencari tau latar belakang oknum-oknum berlabel mualaf yang akan berceramah, terutama latar belakang keilmuan ke-Islamannya.
>> Otoritas Dakwah
Belajar dari kasus BS, sebenarnya ada banyak kasus-kasus serupa yang masih sering terjadi ditengah masyarakat kita. Terlepas dari persoalan mualaf atau tidak, kita seharusnya harus lebih kritis dan teliti untuk memilih seorang penceramah atau pendakwah, apalagi ini berhubungan dengan sebuah keyakinan atau Agama.
Memilih penceramah yang tidak tepat apalagi yang tidak jelas asal-usul keilmuannya, maka akan sangat berbahaya bagi umat yang awam. Selain karena isi ceramahnya yang bisa saja ngawur dan melenceng, tapi juga bisa menjadi praktek yang sesat menyesatkan. Ingat, ini persoalan Agama loh, tidak bisa sembarangan dan asal ngomong.
Tidak dapat dipungkiri juga, bahwa masyarakat kita masih sangat silau terhadap tampilan atau gelar yang tercantum pada diri sang penceramah. Asalkan sudah berpenampilan agamis, lalu serta merta itu dianggap dapat mewakili tingkat keilmuannya. Belum tentu masbro…
Kita harus lebih jeli untuk menelusiri latar belakang si penceramah ini. Misal dari mana belajar agamanya, sekolahnya dimana atau gurunya siapa. Terlebih kalau sang pencerama ini adalah seorang Mualaf. Kita harus tau benar dimana tempat mereka menimba ilmu agama.
Dizaman yang modern ini, tidak sulit untuk menemukan informasi tersebut. Google dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mencari informasi terkait sang penceramah. Jadi jangan asal kondang dan sudah terkenal, lalu kita lempeng-lempeng saja menerima apapun isi ceramahnya.
Nah, terkait urusan penceramah, sebenarnya ada hal yang menjadi keresahan tersendiri untuk saya pribadi. Jadi sebenarnya bagaimana dan seperti apa kriteria seseorang untuk berhak mendapat otoritas berceramah Agama dan siapakah orang lembaga yang berhak memberikan otoritas tersebut.
Saya begitu resah dengan hal ini, karena akhir-akhir ini banyak sekali terdapat penceramah-penceramah agama yang tidak jelas asal-usul keilmuannya lalu memberikan ceramah yang ngawur dan kadang malah menyesatkan jamaahnya. Ini sangat berbahaya jika isi ceramah tersebut diterima mentah-mentah oleh masyarakat awam yang rendah ilmu agamanya dan rendah pula daya berfikir logis dan kritisnya.
Apakah ada standarisasi minimum kepada seseorang untuk berhak mendapat otoritas berceramah Agama? Misal saja, sebagai penceramah setidaknya pernah menimba ilmu di pesantren atau lembaga pendidikan agama formal lainnya atau ada standarisasi-standarisasi lainnya.
Karena, dengan tidak adanya standarisasi kompetensi minimum ini bisa mengakibatkan banyaknya penceramah-penceramah abal-abal yang hadir dimasyarakat. Pemilihan seorang penceramah tidak boleh hanya karena penamilan yang terlihat agamis padahal keilmuannya tong kosong nyaring bunyinya. Bahaya ini bray...
Belum lagi adanya labelisasi hijrah yang sedang trend saat ini, dimana seolah-olah jika oknum tersebut sudah memperoleh label “hijrah”, maka serta-merta sudah merasa berhak untuk berdakwah Agama. Meskipun tidak semua yang "hijrah" akan seperti ini, tapi ada beberapa oknumlah yang akhirnya membuat ini seolah tergeneralisasi.
Disclaimer: Tulisan ini adalah sebuah opini pribadi dan tidak ada tendensi apapun kepada orang lain.
Salam #sobatsambat
Jangan lupa Like, Subscribe dan Share artikel ini kalau kalian suka ya.
(Halah kok malah koyok Youtuber wae c@k, iki lho cuma blog tok, rasah kakean polah, wkwkwkwk)
_____
RBS, March 2020
Comments