Polemik "Lockdown" (lagi)
- R. B. Sukmara (Author)
- 1 Apr 2020
- 5 menit membaca
Diperbarui: 6 Sep 2023

Fenomena teriakan lockdown masih saja terdengar, baik dimedia cetak, televisi apalagi jagat pertwitteran. Banyak politisi yang seolah-olah seperti menjadi pahlawan dengan meneriakkan lockdown untuk mengurangi penyebaran virus.
Tapi memang, orang2 yang meneriakkan ini dapat saja dianggap sebagai “pahlawan kesiangan” dimata masyarakat awam. Teriakan mereka bak seruan dari seorang pahlawan bertopeng ditengah kerumunan warga.
Lalu, apakah masyarakat kita sudah benar-benar paham dan siap dengan istilah lockdown ini?
Faktanya, banyak masyarakat yang justru bingung dan salah kaprah dari kata lockdown ini. Bisa kita lihat, banyak fenomena2 jalanan kampung dipasangi portal lalu diberi tulisan “lockdown”. Apa ini yang dimaksud dari istilah lockdown? Yo ora lah boss!
Karena ketidakpahaman masyarakat awam terkait hal ini, maka mereka pun akhirnya menginterpretasikan sendiri. Mungkin dalam benak mereka itu hanya sebuah aturan untuk melarang orang lewat atau keluar/masuk kampung mereka. Tapi didalam, mereka tetap kumpul2 bahkan mendirikan posko dan disana warga “kumpul2” untuk menjaga posko “lockdown” tersebut. Lha dalah, boro2 mau ngilangin virus, yang ada malah jadi berbagi virus.

Lalu bagaimana sebenarnya dengan kebijakan lockdown itu sendiri.
Kebijakan lockdown sendiri adalah kebijakan untuk mengunci total suatu wilayah dan aktivitas orang ditempat umum sangat-sangat-sangat dibatasi.
Seperti yang bisa kita lihat dinegara-negara lain yang sudah menerapkan itu lebih dulu. Mereka mengerahkan seluruh aparat untuk mengamankan dan memastikan seluruh warganya tidak ada yang beraktifitas diluar. Bahkan di China katanya mereka sampai mengambil cara ekstrim dengan melakukan penguncian paksa dengan cara mengelas pintu-pintu rumah warganya agar tidak keluar rumah.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kenapa pemerintah dianggap begitu enggan untuk menerapkan ini?
Pertanyaan itu menjadi pertanyaan yang cukup sering ditanyakan masyarakat umum. Padahal fakta dilapangan, saya melihat sebenarnya pemerintah sudah mulai menerapkan kebijakan lockdown namun dengan cara yang step by step dan explisit.
Hal itu dapat terlihat dari kebijakan pemerintah sedikit demi sedikit mulai melakukan pembatasan akses, penutupan sebagian jalan dan melakukan pembatasan sosial dengan skala besar.
Beberapa tindakan diatas sebenarnya sudah masuk dalam bagian dari “lockdown” namun istilah lockdown tidak digunakan.
Kenapa istilah lockdown tidak digunakan, ya karena istilah lockdown mulai bergeser maknanya dimasyarakat. Masyarakat awam menganggap bahwa kata lockdown itu seperti hal yang ekstrim dan menakutkan.
Lalu apa dampaknya jika istilah lockdown tetap digunakan? Ya jelas, dampaknya adalah akan terjadi kepanikan masyarakat dan cenderung berujung dengan chaos seperti yang terjadi di India.
Bisa kita lihat India, negara yang baru saja mengumumkan kebijakan lockdown. Masyarakat umum kita dan India memiliki karakter yang relatif sama. Baik dari segi prilaku sosial maupun tingkat ekonominya.
Silahkan lihat apa yang terjadi disana setelah kebijakan lockdown diterapkan. Disana terjadi chaos dan kepanikan. Seperti yang diberitakan oleh media berita Timur Tengah bernama Al Jazeera, mereka para penduduk India melakukan eksodus besar-besaran karena mereka tidak mampu lagi bertahan hidup didaerah yang terkena kebijakan “lockdown”. Tidak ada pekerjaan, tidak ada pendapatan dan tidak ada makanan dan mereka memilih untuk pulang kampung dengan cara berjalan kaki berduyun-duyun karena transportasi umum distop oleh pemerintah dan akhirnya menghasilkan kerumunan orang dalam jumlah besar. Nah apakah ini malah membuat risiko penularan semakin besar?

Bayangkan jika itu diterapkan di negara kita secara implisit. Sudah bisa dibayangkan to bakal terjadi apa di Indonesia. Lha wong baru keluar wacana-wacana isolasi saja warga kita langsung panic dan dan melakukan panic buying. Bayangkan apa yang terjadi kalau pemerintah mengumumkan “lockdown”.
Disini ada hal yang saya jengkelkan kepada para oknum politisi yang begitu rajin untuk gembar gemborkan lockdown. Saya agak curiga bahwa seperti ada sebuah “jebakan batman” yang ingin mereka lalukan kepada pemerintah dan juga membuat polemik di masyarakat umum.
Karena apa, begitu pemerintah menerapkan lokdown total, makan mereka akan menggemborkan konsekwensi dari lockdown adalah negara harus menjamin semua kebutuhan dasar seluruh rakyat yang terkena kebijakan lockdown dan juga pemerintah mau tidak mau harus mengerahkan apparat untuk memaksa menertibkan masyarakat yang masih ngeyelan.
Lalu pertanyaannya, apa ekonomi kita mampu menyuplai itu semua?
Kalaupun mampu, maka apakah dampak yang ditimbukan setelahnya? Apa kita mampu untuk segera pulih setelah itu? Kalau tidak mampu untuk segera pulih, maka yang terjadi adalah ekonomi kita bisa ambruk total setelah itu dan kejadian krisis bisa saja terulang lagi. Apakah kita mau seperti itu ?
Belum lagi urusan pengerahan aparat untuk menertibkan warga. Ingat, warga kita itu (maaf) ngeyelan. Kalau tidak dikerasin pasti sulit menertibkannya. Nah nanti kalau mulai represif sedikit, langsung dicap kekerasan dan akan hampir pasti isu HAM akan dimainkan. Lha, malah mumet lagi kalau sudah begini urusannya.
Lalu bagaimana negara yang menerapkan lockdown dan berhasil seperti China dan negara2 lainnya?
Banyak faktor yang menentukan berhasil tidaknya kebijakan lockdown. Saya melihat itu tergantung pada kondisi negara dan warga negaranya.
China misalnya, mereka mudah untuk menerapkan ini karena selain ekonomi mereka sangat stabil dan juga sistem pemerintahan yang otoriter membuat mereka mudah untuk menerapkan ini dimasyarakat. Siapa saja yang melawan kebijakan pemerintah akan mendapat “punishment”.
Lalu bagaimana dengan negara-negara lain khususnya eropa yang menerapkan lockdown? Kok mereka bisa berhasil? Jawabannya adalah ya karena masyarakatnya sudah biasa tertib dan patuh pada aturan negara. Jadi ketika ada kebijakan dari negara, mereka akan dengan mudah untuk mematuhi.
Saya beri sedikit gambaran tentang Taiwan yang menjadi tempat tinggal saya saat ini dan masih menjadi negara terbaik dalam penanganan Covid-19, mereka menerapkan aturan yang sangat ketat untuk warganya. Taiwan memberlakukan denda yang cukup besar kepada warga yang melanggar aturan penanganan Covid-19, contohnya karangtina rumah (home quarantine). Jika ada yang melanggar mereka akan didenda pemerintah mulai dari NT$ 10.000.
Lha kalau dikita masyarakatnya banyak yang (maaf) ngeyel. Buktinya saja bisa terlihat, baru penerapan kebijakan “sosial distancing” dan pelarangan beribadah bersama saja, warga kita ada yang masih ngeyel dan bawa-bawa urusan iman versus corona. Hedeh…
Sudahlah, kita jangan terlalu munafik untuk menyangkal fakta bahwa masih ada masyarakat kita yang kerjaannya ngenyel. Kita harus sadar terlebih dahulu baru tuh kita bisa nuntut-nuntut kebijakan lockdown. Lha bagaimana kebijakan lockdown ini bisa berhasil? Yang ada malah cuma jadi carut marut ga jelas.
Kembali ke masalah contoh negara yang melakukan lockdown selain India tapi dampaknya (agak) wadidaw Kita bisa belajar dari Italy yang juga menerapkan opsi lockdown. Dari beberapa berita yang sempat saya baca, disana disebutkan mulai banyak terjadi praktek penjarahan karena warganya mulai kehabisan logistik untuk bertahan hidup.
Nah, kalau sudah ada penjarahan, ini sudah merupakan tanda awal akan terjadi caos jika praktek ini semakin tidak terkontrol. Apa warga negara kita siap dengan segala konsekuensi jika kebijakan lockdown diterapkan total dan dilakukan secara eksplisit?
Tanyakan ke diri kalian masing-masing ya. Jangan sampai hanya kemakan omongan dan gembar-gembor para oknum “pahlawan bertopeng” yang sebenarnya ingin membuat “jebakan batman” dengan topeng “menyelamatkan rakyat”.
Mari berfikir jernih lah bro. Daripada menuntut penerapan opsi lockdown total yang akhirnya berpotensi chaos. Lebih baik kebijakan itu kita terapkan di diri kita masing-masing dengan cara yang saya sebut “karangtina pribadi” atau kalau masih keukeh mau pake istilah lockdown kita namakan saja metode “Lockdown Dewe”.
Apa itu “Lockdown Dewe” yang saya maksud yaitu dengan kesadaran penuh berusaha untuk membatasi diri beraktifitas diluar sesuai anjuran pemerintah, kecuali untuk kebutuhan mendesak.
Dan juga tetap melakukan social distancing, dirumah aja dan jangan pulang kampung sesuai dengan anjuran pemerintah.
Dengan begitu, tanpa harus di state kata lockdown, kita dengan sendirinya sudah melakukan “lockdown” dengan sendirinya. Intinya semua itu kembali ke diri kita masing-masing. Jika kita mau virus ini segera berakhir, kita lah yang harus mengendalikan diri dan saling mengedukasi terutama pada kawan-kawan kita di masyarakat awam.
____
Salam #sobatsambat
____
Jangan lupa Like, Subscribe dan Share artikel ini kalau kalian suka ya.
(Halah kok malah koyok Youtuber wae c@k, iki lho cuma blog tok, rasah kakean polah, wkwkwkwk)
_____
RBS, March 2020
Comments