Polemik Normalisasi vs Naturalisasi
- R. B. Sukmara (Author)
- 7 Jan 2020
- 6 menit membaca
Diperbarui: 12 Jan 2023

Setelah kejadian banjir besar yang merendam kota Jakarta pada awal tahun 2020 lalu, jagat maya ramai dengan berbagai perdebatan. Salah satu yang paling santer terdengar adalah perdebatan tentang alternatif solusi penanganan banjir yang akhirnya harus menyeret 2 istilah yaitu normalisasi dan naturalisasi dikalangan netizen. Perdebatan semakin panas dan liar karena cukup banyak warganet yang sebenarnya tidak seratus persen paham dengan apa itu normalisasi dan naturalisasi. Ketegangan yang terjadi dijagat maya seolah mengingatkan kita pada pilpres lalu, dimana warganet terpecah menjadi dua kubu yang saling bersebrangan, yaitu Kubu Pro Naturalisasi dan Kubu Pro Normalisasi.
Nah, daripada saling gontok-gontokan dikolom komentar Instagram, facebook ataupun timeline twitter, yang akhirnya bikin jari malah keseleo. Lebih baik kita coba untuk memahami kedua konsep tersebut. Dikesempatan ini saya coba untuk sedikit memberikan penjelasan sederhana dari kedua metode tersebut.

Yang pertama kita bahas terlebih dahulu adalah apa itu Normalisasi.
Normalisasi adalah istilah yang lazim digunakan oleh para insinyur atau ahli-ahli dalam bidang teknik sipil (khususnya bidang rekayasa keairan) di Indonesia yang merujuk pada sebuah alternative upaya penanggulangan banjir. Normalisasi sendiri bukanlah istilah umum yang digunakan diluar Indonesia. Para insinyur didunia lebih sering menggunakan istilah re-shaping atau channelization. Menurut Brookes (1981), channelization adalah sebuah grup dari praktek enjinering (rekayasa) yang digunakan untuk mengendalikan banjir, mengeringkan lahan basah (wetland), peningkatan sungai sebagai sarana pelayaran, pengendalian erosi dan meningkatkan alinyemen (alur) sungai.



Secara umum, sistem kerja dari normalisasi adalah menyesuaikan kapasitas sungai/saluran sesuai dengan debit air yang akan melalui sungai/saluran tersebut. Sebagai contoh, terdapat sebuah sungai yang awalnya memiliki kapasitas pengaliran debit sebesar 10 meter kubik per detik di normalisasi dengan meningkatkan kapasitasnya menjadi 20 meter kubik per detik. Nah normalisasi sendiri memiliki berbagai macam alternative, diantaranya dengan penggalian (menambah kedalaman), pelebaran, peninggian tanggul ataupun perbaikan alur sungai (baik itu realinyemen ataupun pelurusan alur sungai) yang pada intinya dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas alir.


Strategi normalisasi ini sudah cukup sering digunakan di berbagai negara khususnya untuk kawasan perkotaan. Karena, dengan melakukan normalisasi, maka debit air yang mengalir disungai/saluran tersebut dapat dilairkan tanpa mengalami peluberan yang akhirnya menyebabkan banjir.
Untuk penanggunalangan banjir, metode normalisasi sendiri memiliki keunggulan yaitu kecepatan alir yang relatif tinggi menyesuaikan kebutuhan. Sehingga, apabila terjadi peningkatan debit didaerah hulu akibat hujan lebat, maka air dapat dengan cepat dialirkan menuju laut tanpa menyebabkan luberan (banjir) dibagian hilir.
Oleh karena adanya kecepatan air yang tinggi dan pertimbangan durabilitas, maka umumnya untuk sungai/saluran yang dinormalisasi menggunakan beton sebagai bahan penyusunnya. Meskipun secara umum material yang digunakan dapat berbagai macam, misal tanah, batu, kayu, beton ataupun baja. Meskipun masyarakat awam cenderung untuk mengidentikkan normalisasi selalu menggunakan beton.

Khusus untuk daerah perkotaan, yang cederung memiliki masalah keterbatasan lahan, metode normalisasi ini relatif sangat cocok digunakan sebagai upaya pengendalian banjir. Hal ini dikarenakan sempitnya areal dibantaran sungai, sehingga sangat tidak mungkin jika dilakukan dengan pelebaran. Jadi, untuk kasus seperti ini, normalisasi cenderung untuk melakukan peninggian tanggul. Jika tanggul dibangun menggunakan tanah, maka dibutuhkan areal yang cukup luas dibantaran sungai untuk dapat mengakomodir struktur tanggul yang biasanya berbentuk trapezium yang bagian pangkalnya relatif lebar. Oleh karena itu, untuk meminimalisir penggunaan lahan dibantaran sungai dan juga untuk meminimalisir area yang harus dibersihkan, maka dipilihlah material beton untuk membangun tanggul tersebut, biasanya menggunakan dinding pancang beton (concrete sheetpile). Bahan ini dipilih karena memiliki kekuatan dan durabilitas yang tinggi dan relatif mudah dan cepat pada proses pembangunannya. Selain itu, material beton juga relatif kuat terhadap kemuungkinan adanya erosi didinding sungai.
Meskipun normalisasi ini terbilang sebuah solusi pengendalian banjir yang level keandalannya cukup tinggi. Namun, metode ini juga banyak menuai kritik tajam dari para ahli jika ditinjau dari segi lingkungan. Para ahli lingkungan berpandangan bahwa normalisasi dapat merusak atau mendegradasi ekosistem dan ekologi yang ada pada sungai tersebut. Dengan merubah kondisi sungai, maka hal itu akan merusak habitat dari ekosistem yang hidup didaerah sungai tersebut. Sebuah riset yang dilakukan di Sungai Gomti India pada tahun 2018, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan polusi air pada sungai tersebut setelah dilakukannya normalisasi (channelization). Selain itu, riset ini juga menunjukkan adanya gangguan terhadap habitat alami dari tanaman ataupun hewan-hewan yang hidup disungai tersebut. Salah satu gangguan itu berupa penurunan variasi dari keragaman tipe habitat disungai itu.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Naturalisasi?
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Naturalisasi, pertama-tama kita harus tau dahulu apa itu definisi naturalisasi. Menurut Rhoad dan Hendrick (1996), naturalisasi adalah sebuah usaha untuk mendapatkan kembali fungsi dari sebuah sistem alami (seperti kemampuan untuk memelihara spesies asli, sementara penggunaan yang diinginkan secara sosial tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Selain itu, untuk sebuah sungai yang mengalami banjir, naturalisasi berarti menyambungkan kembali daratan banjir (floodplain) dengan sungainya secara selektif dan pemulihan rezim banjir yang lebih alami (Spark et al, 1998).

Water Civilization International Center (UNESCO) mendefinisikan naturalisasi sebagai upaya meningkatkan tingkat kealamian disekitar sungai dan mempromosikan penciptaan vegetasi baru atau menciptakan kembali rawa serta daerah lembab untuk meningkatkan keanekaragaman hayati. Intervensi manusia disini tetap diperlukan namun tidak secara radikal dan goalnya adalah keberlanjutan (sustainability).
Sedangkan menurut JBATrust, naturalisasi adalah sebuah cara untuk menciptakan kembali proses alami, meningkatkan kemandirian sungai, peningkatan keragaman hayati, konektivitas dan dinamika sungai. Untuk lebih lengkapnya, JBATrust juga memahami naturalisasi sungai sebagai proses:
pengembalian dan peningkatan keanekaragaman hayati,
Penghapusan struktur/bangunan yang dibuat manusia disungai
Mendukung proses alami sungai (baik itu proses sedimentasi ataupun erosi di sungai)
Konektivitas
Keberlanjutan (sustainability)
Tidak adanya intervensi manusia pada sungai tersebut
Dan memulihkan sungai dalam konteks historis.
JBATrust juga mendeklarasikan cara mereka untuk menaturalisasi sungai, yaitu dengan cara menghilangkan seluruh struktur yang dibuat manusia disungai tersebut, meningkatkan kapasitas alir, meningkatkan erosi dan sedimentasi, meningkatkan habitat dan keanekaragaman hayati, menghubungkan kembali dataran banjir (flood plain) dan melebarkan sungai.
Dari beberapa difinisi diatas ada pula yang menyebut Naturalisasi dengan sebutan Restorasi, saya cenderung untuk menyebut naturalisasi dengan sebutan re-naturalisasi yang secara sederhana dapat disebut sebagai proses pengembalian sungai sesuai dengan kondisi alaminya. Dimana proses alami tersebut juga mengembalikan ekosistem alami yang berada disungai tersebut. Menurut Magdalena dan Absalon (2012), tujuan utama dari naturalisasi adalah untuk meningkatkan kondisi abiotic dan status air, pemulihan perairan ke keadaan alami bukanlah satu-satunya tujuan re-naturalisasi, proyek ini dapat memberikan manfaat bagi ekonomi, masyarakat, rekreasi dan teknologi, seta dapat meningkatkan fitur lanskap.
Lalu bagaimana kemungkinan dari pelaksanaan naturalisasi?
Menurut Sedney Water, proses naturalisasi hanya memungkinkan jika dilokasi tersebut memiliki ruang terbuka yang cukup, dimana proses pekerjaan tersebut tidak menggangu layanan yang ada dibawah tanah (underground services) atau diatasnya dan juga terhadap potensi banjir.
Jika proses naturalisasi harus dilaksanakan, maka bantaran sungai yang sudah berubah harus dikembalikan sesuai kondisi aslinya. Dimana bantaran tersebut terdiri dari daerah daratan banjir atau daerah basah yang didominasi oleh vegetasi alami sungai. Jadi diperlukan upaya yang luar biasa untuk membersihkan bantaran sungai dari berbagai aktivitas manusia.
Jika ditinjau dari sisi lingkungan, proses re-naturalisasi ini sangat baik bagi keberlangungan ekosistem yang berada pada sungai tersebut. Sungai dapat berproses dan menemukan keseimbangannya secara alami layaknya sebuah sungai yang jauh dari intervensi manusia, seperti sungai-sungai alami yang berada didaerah pegunungan atau hutan.
Menurut USEPA (United States Environmental Protection Agency), normalisasi atau modifikasi sungai memainkan peran utama dalam polusi non-titik (non-point source polutant) dengan meningkatkan pengaliran polusi menuju daerah hilir. Proses modifikasi sungai juga menyebabkan naiknya kecepatan aliran pada sungai dan meningkatkan resiko banjir pada bagian hilir. Menurut USEPA juga, proses modifikasi sungai dapat menyebabkan :
gangguan keseimbangan aliran
mengganggu habitat sungai
merubah kecepatan aliran sungai
menghilangkan fungsi banjir sebagai pengontrol sifat-sifat pembentukan sungai
merubah bentuk dasar sungai
dan meningkatkan erosi dan sedimentasi
Namun, proses re-naturalisasi ini akan sangat sulit dilaksanakan jika daerah tersebut minim ruang terbuka, seperti daerah perkotaan. Dimana kepadatan bangunan sudah sangat sulit untuk dilakukan pemindahan (relocation). Pembiayaan yang besar akan dibutuhkan untuk memastikan daerah bantaran sungai bersih dari bangunan. Belum lagi ditambah dengan proses penanaman vegetasi didaerah bantaran yang memakan waktu cukup lama dan sangat riskan terjadinya kegagalan.
Sedangkan untuk penangan banjir, naturalisasi ini relatif lebih sulit untuk diterapkan, khususnya didaerah perkotaan. Namun, akan berbeda jika ini dilakukan didaerah rural atau sub-urban yang memiliki area terbuka yang relatif luas.

Lalu mana yang lebih baik? Naturalisasi atau Normalisasi?
Sebenarnya, kedua metode ini tidak dapat dibandingkan secara peer to peer. Karena menurut hemat saya, tujuan utama dari kedua metode ini sangat berbeda satu-sama lain. Sehingga sangat tidak bijak jika kita harus membandingkan kedua metode ini.
Menurut saya, tindakan yang lebih bijak adalah dengan mengkombinasikan keduanya untuk mencapai tujuan yang tetap mengutamakan keselamatan manusia dari banjir dan juga tetap mempertahankan ekosistem disungai.
Kombinasi metode yang dimaksud dikenal dengan istilah percantikan sungai atau dalam Bahasa Inggris adalah āriver beautificationā. Metode ini pun juga sudah dilakukan di berbagai negara didunia, diantaranya Korea, Taiwan dan negara-negara eropa. Untuk metode river beautification ini akan saya bahas pada artikel selanjutnya. Jadi, mohon bersabar. hehe.
Catatan:
JBATrust adalah sebuah lembaga riset akademik yang berbasis di Inggris, yang berfokus kepada pelerstarian sumber daya air.
RBS,
7 Januari 2019, Zhongli, Taiwan.
Sumber Referensi:
Comments