PhD Survivor : Sebuah Pelajaran Hidup dari Tanah Perantauan
- R. B. Sukmara (Author)
- 3 Feb 2020
- 5 menit membaca
Diperbarui: 12 Jan 2023

Dalam dunia para pelajar, menyandang titel mahasiswa S3 (doctoral) tentu akan memberikan gengsi tersendiri, karena ini merupakan kasta tertinggi dalam hierarki pendidikan akademik. Kenapa ini begitu bergengsi, ya karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan hingga level ini, baik itu karena faktor kemampuan akademik maupun kemampuan finansial. Masalah finansial biasanya menjadi faktor kesulitan utama, karena kita tau bahwa untuk belajar di kasta ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, baik untuk biaya sekolah (tuition fee) ataupun biaya riset selama melakoni pendidikan S3.
Adrenalin menyandang status sebagai mahasiswa S3 itu pun saya rasakan ketika saya mendapatkan sebuah surat (Letter of Acceptance, LoA) yang menyatakan saya diterima sebagai mahasiswa disalah satu kampus di Taiwan. Rasanya seperti baru memenangi kompetisi basket, yang memang udah lama gaā pernah saya rasakan lagi hehe. Rasa tidak sabar untuk segera berangkat sekolah lagi pun terus mengalir dalam darah saya, karena tau ānjir, gue bakal sekolah S3 nihāā¦
Sejak saat itu, saya mulai mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan dengan perasaan āhappy bangetā. Hingga akhirnya pada pertengahan 2017 saya pun berangkat meninggalkan tanah air untuk memulai studi S3 saya. Setelah perjalanan sekitar sehari (termasuk transit, keleleran dll), akhirnya saya menginjakkan kaki dikampus tujuan dan mulai mengurus proses daftar ulang. Sampai dititik ini, perasaan āhappy bangetā itu masih terus mengalir. Step by step proses daftar ulang saya ikuti sampai selesai. Hingga akhirnya terbitlah kartu pelajar saya, dan ini adalah bukti resmi saya menyandang status baru sebagai Mahasiswa Doktoral, cie ilehā¦
Setelah resmi menyandang status mahasiswa lagi, perasaan bangga dan āhappy bangetā itu masih terus berlanjut, hingga pada hari pertama perkuliahan dimulai. Rasa bangga dan āhappy bangetā yang luar biasa itu mulai memasuki kurva yang menurun sejak hari pertama perkuliahan. Karena, sejak saat itu, haru biru perkuliahan telah dimulai. Mulai dari perkuliahan yang kadang dicampur dengan Bahasa Mandarin yang tidak saya mengerti sama sekali, lalu materi kuliah yang kian lama kian dipenuhi dengan symbol-simbol dan huruf saja. Kalau hanya angka-angka itu bukan perkara yang sulit, tapi jika angka ini mulai bercumbu dan memadu kasih dengan huruf dan symbol, disini paramex, antangin, paracetamol dan berbagai macam obat pilek lainnya mulai diperlukan.
Dosis dari kombinasi huruf dan angka mulai meningkat seiring dengan bertambahnya masa perkuliahan. Dosis itu meningkat tajam ketika saya tau bahwa didepartemen saya ada menu wajib yang bernama Ujian Kualifikasi (Qualification Exam a.k.a QE). Apa itu ujian kualifikasi? Ujian kualifikasi ini adalah ujian wajib bagi mahasiswa S3 yang akan masuk ke jenjang berikutnya yaitu kandidat doktor atau disini disebut PhD Candidate. Ujian kualifikasi adalah ujian untuk menentukan apakah anda layak atau tidak untuk melanjutkan proses studi S3. Nah, jika kita gagal dalam ujian ini, berarti kita dinyatakan tidak layak untuk melanjutkan studi. Dengan kata lain, ini adalah ujian hidup dan mati seorang mahasiswa S3. Jika anda gagal maka anda akan ditendang keluar dari kampus. Tidak sedikit mahasiswa dikampus saya yang akhirnya harus gugur dalam pertempuran āQualification Examā ini dan mau tidak mau haru pulang ke negara asal mereka.
Karena Taiwan mengadopsi American Style System (Course Work), maka proses studi S3 tetap harus mengambil mata kuliah sebanyak 24 SKS (di departemen saya). Sebelum melakoni pertempuran QE, saya diwajibkan untuk menyelesaikan 3 mata kuliah wajib yang akan diujikan pada Perang QE yaitu Environmental Fluid Mechanics, Fluid Dynamic dan Water Resources System and Management (iki panganan opo coex!). Sebagai informasi, dikampus ini setiap departemen memiliki tipe QE yang berbeda-beda.
Ketar-ketir setiap akan menghadapi UTS, UAS dan QE selalu hadir dikepala. Belum lagi riset yang tak kunjung ketemu juntrungannya dan dosis paramex yang terus meningkat tajam. Hingga akhirnya, pertengahan tahun 2019 saya lolos dari pertempuran maut QE. Ini merupakan check point pertama saya dalam proses studi ini. Namun, tidak berarti saya bisa bernafas lega, Neo Napacin tetap diperlukan untuk membantu pernafasan yang mulai dililit oleh tali tambang besar yang bernama riset.

Saat ini saya mengambil riset yang berkutat dengan bencana banjir disalah satu kota di Indonesia. Alasan saya saat mengambil topik ini sederhana, karena waktu itu saya berfikir akan mudah untuk memperoleh data karena tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal saya. Namun ternyata prediksi awal saya salah besar dan cenderung untuk berantakan. Awalnya saya menyusun skema riset berdasarkan pada prediksi data yang akan saya gunakan, dan saya pikir data itu akan tersedia. Tapi, setelah saya mulai mencari data yang saya butuhkan ternyata data itu tidak tersedia dan cenderung tidak jelas. Memang permasalahan klasik di negara kita kalau urusan data, apalagi yang berasal dari instansi pemerintah daerah pasti akan banyak drama dalam proses mencarinya. Disini saya mulai merasakan apa yang dirasakan oleh senior-senior saya yang lebih dahulu berada disini, yaitu kebuntuan.
Sebuah Kebuntuan
Ya, SEBUAH KEBUNTUAN yang akhirnya mampir juga dalam proses studi saya. Kebuntuan pada proses riset memang menjadi momok dari para mahasiswa. Pun begitu dengan saya, kadang saya merasa bingung mau dibawa kemana riset saya ini. Kondisi mentok, jenuh dan hilang arah mulai saya alami. Semakin banyak baca jurnal paper kadang bukan malah menjadi bagus justru malah bikin tambah bingung. Belum lagi kalu bicara tentang novelty, semakin banyak baca paper semakin pusing dimana letak novelty dari riset kita. Lebih memet lagi kalau paper yang di baca terkadang tidak menjelaskan secara detail dari proses riset mereka, sehingga kadang saya menemukan ada gap yang harus dicari penutupnya dan entah dimana.
Dari sini saya mulai memahami bahwa proses studi S3 tidaknya segemerlap brandingnya. Berbagai-macam tantangan dan persoalan kadang tidak selalu dengan mudah bisa terselesaikan. Memang ada orang yang menyelesaikan proses S3nya dengan cepat ada juga yang harus berdarah-darah. Ada yang 2 tahun ada yang 3 tahun, tapi ada juga yang 5 tahun, 7 tahun bahkan 10 tahun. Di Taiwan batas normal untuk studi adalah 4 tahun, meskipun ada juga yang mampu menyelesaikan dalam waktu 3 ā 3,5 tahun. Setiap orang memiliki persoalannya masing-masing. Disaat sulit seperti ini, kadang para mahasiswa ini butuh bantuan. Dan terkadang mereka hanya butuh bantuan untuk dikuatkan secara mental, agar mental mereka tidak jatuh. Kalaupun tidak bisa membantu secara teknis, bantuan berupa semangat atau dukungan saja sudah cukup untuk mengembalikan lagi mental kami yang mulai surut.
Studi S3 sama halnya dengan proses mendaki gunung. Dalam prosesnya kita bertemu dengan banyak orang dengan berbagai macam kondisi. Ada yang segar bugar, ada yang sedikit sakit, adapula yang sebenarnya sedang sakit tapi semangatnya terus berkobar dan tetap berjuang hingga puncak. Disaat mendaki itu, sedikit kata sederhana seperti āayo semangat mas, sedikit lagi puncakā akan bisa mengembalikan mental kami yang kelelahan ini kembali bangkit dan terus berjalan.
Ada sebuah pelajaran penting dalam proses studi ini, yaitu jangan pernah meremehkan proses atau hasil riset orang lain. Karena skala kesulitan setiap orang berbeda-beda. Bijaklah dalam berpendapat dan mengomentari riset orang lain. Hargai apa yang telah mereka usahakan. Jangan sampai anda melontarkan komentar negative kepada mereka yang mungkin berada diujung jurang.
Kita tidak pernah tau kondisi kesehatan mental setiap orang. Bisa saja saat anda melontarkan komentar negative, ternyata orang yang anda komentari berada pada mas-masa sulit. Jika mereka tidak mampu untuk menghadapi komentar itu, maka resiko terburuk pun bisa menghampiri mereka. Hal negative akibat komentar anda bisa memicu hal seperti strees parah, depresi atau malah bisa saja bunuh diri. Kita tidak pernah tau kan..
Untuk teman-teman yang masih sama-sama berjuang untuk lulus, Jiayo !!!
RBS, 2020
Comments