top of page

Seketika teringat kutipan Bung Karno

  • Gambar penulis: R. B. Sukmara (Author)
    R. B. Sukmara (Author)
  • 23 Mar 2019
  • 10 menit membaca

Diperbarui: 6 Sep 2023


Bung Karno

Beberapa hari ini saya begitu aktif bahkan sangat aktif untuk membuka akun-akun media sosial saya, baik itu di Facebook (FB) atau Instagram (IG). Tak terasa berapa jam sehari saya menghabiskan waktu untuk membuka dua platform paling mainstream di kalangan generasi milenial itu.


Awalnya saya hanya ingin membuka akun saya itu hanya untuk melihat update-update terbaru, namun seiring saya membuka saya terbawa untuk mengikuti berita-berita artikel-artikel tentang pemilu. Berita dan artikel itu biasanya diunggah oleh akun-akun tertentu yang saya follow ataupun dari postingan teman-teman saya (biasanya ini di FB). Dari banyak postingan dan artikel yang saya lihat di lini masa saya, saya banyak sekali menemukan postingan ataupun artikel-artikel yang berbau provokasi yang diunggah oleh akun-akun ataupun teman-teman saya. Isinya pun tak jauh-jauh dari ranah pemilu, khususnya pemilihan presiden (Pilpres). Semua saling menggunggah postingan-postingan yang saling memprovokasi satu sama lain. Seolah sedang berperang, mereka saling menghujamkan kata-kata untuk saling "menghabisi" calon presiden yang tidak mereka sukai.


Sebenarnya saya merasa tidak nyaman dan geram dengan postingan-postingan tersebut, terkadang jika memang akun yang memposting itu sudah terlalu provokatif, saya pun tidak ambil pusing. Seperti yang pernah diucapkan Pak Mahfud MD "jika tidak suka dengan postingannya, ya sudah blok atau unfollow saja". Dan memang itu perlu dilakukan.


Tapi ada hal yang menarik dari beberapa postingan-postingan yang mereka share baik di FB ataupun di IG. Saya mendapat banyak informasi tentang apa yang sedang terjadi di negara saya tercinta, karena kebetulan untuk saat ini saya sedang tinggal di luar Indonesia.


Salah satu yang saya soroti dari postingan-postingan itu adalah saya mendapat informasi betapa semakin mengerikannya kondisi toleransi dan kebangsaan di Bumi Pertiwi. Mulai dari perdebatan penggunaan kata "Kafir" yang ditujukan kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang kebetulan tidak Muslim atau kadang ditujukan kepada sesama muslim yang kebetulan tidak sejalur dengan Muslim menurut sudut pandang mereka.


Belum lagi adanya golongan-golongan tertentu yang terus merong-rong pemerintah dan menuntut untuk menegakkan Ideologi Khilafah di Indonesia. Tentu ini sangat bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan golongan-golongan ini tidak segan-segan untuk berorasi ditempat umum atau pun di media sosial yang mainstream.

Indonesia menjadi negara Islam

Wacana tentang Negara Islam Indonesia memang sudah berhembus berhembus sangat lama, bahkan sejak era sebelum kemerdekaan. Waktu itu salah satu tokohnya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (SMK). Saya menemukan artikel tentang tokoh ini di halaman tirto.id. Pada tahun 1923, SMK mulai bergabung dalam dunia pergerakan melalui Jong Java. Namun, pada tahun 1925, terjadi pergolakan didalam tubuh Jong Java, dimana ada yang mengutamakan cita-cita Keislaman dan satunya mengutamakan nasionalis sekuler.


Mereka yang berada pada sisi mengutamakan keislaman akhirnya keluar dan membentuk organisasi baru yang bernama Jong Islamieten Bond (JIB), dan SMK menjadi ketua untuk cabang Surabaya. Tahun 1936, SMK terpilih sebagai Ketua Muda Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Tanggal 14 Agustus 1945, setelah peristiwa pengeboman Jepang oleh Amerika, SMK meminta Kyai Joesoef Taudjiri untuk segera memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII), namun permintaan itu ditolak (menurut Pinarti yang dikutip oleh Van Djik dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan).


Setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Melihat hal ini tentu belanda tidak tinggal diam dan mencoba untuk terus menjajah indonesia dengan Agresi Militer Belanda I dan II. Dengan adanya agresi militer ini, SMK semakin yakin untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Hingga pada tanggal 7 Agustus 1949 SMK menerbitkan Maklumat NII No.7 yang berisi tentang pernyataan pendirian NII.


Tanggal 7 Agustus 1949, SMK memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di desa Cisampah, Kecamatan Ciawligar, Kabupaten Tasikmalaya. Negara Islam Indonesia dibentuk SMK dengan organisasinya Darul Islam dan Tentaranya yang bernama Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan DI/TII. Hal ini tentu seperti duri dalam daging dan akhirnya dituduh oleh pemerintah Indonesia sebagai gerakan separatisme dan pengrusakan.


Pemberontakan yang dilakukan DI/TII di Jawa dan Sumatera menimbulkan rasa saling curiga diantara pemerintah, ulama dan masyarakat. Pemerintah menganggap para ulama berusaha melindungi DI/TII, begitupun dikalangan ulama itu sendiri. Untuk mengurangi hal tersebut, maka dibentuklan Badan Musyawarah Alim Ulama yang kelak menjadi cikal balak terbentuknya Majelis Ulama Indonesia. Badan ini bertujuan untuk memonitor pergerakan DI/TII dan sekaligus membantu pemerintah dalam menumpas DI/TII. Pada tanggal 4 Juni 1962, panglima tertinggi DI/TII akhirnya tertangkap. Dan pada tanggal 16 Agustus 1962, Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) menyatakan SMK dan pergerakannya selama 13 tahun merupakan sebuah pemberontakan dan akhirnya SMK dijatuhi hukuman Mati.


Pancasila dan NKRI Sudah Final

Seperti itulah kurang-lebih kata yang sering keluar dari orang-orang yang tetap teguh bahwa Indonesia merupakan bentuk final dari sebuah bangsa yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan terdiri dari berbagai macam Ras dan Agama.


Golongan-golongan saya maksud diatas adalah golangan orang yang bersikukuh untuk mendirikan atau merubah Indonesia menjadi Negara Islam. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan semangat para pendiri bangsa yang mengusung motto "Bhineka Tunggal Ika" dan tentu akan berpotensi untuk menghancurkan Indonesia.


Adapun seorang tokoh yang bernama Munawir Sjadzali yang menjadi salah satu tokoh yang mempromosikan asas tunggal Pancasila. Munawir Sjadzali merupakan seorang Menteri agama yang menjabat selama 2 periode sejak tahun 1983 hingga 1993. Beliau melihat bahwa di Masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, banyak yang mengaku pembela agama tapi mereka mementingkan dirinya sendiri. Sang Menteri agama sadar bahwa beliau hidup di negara yang agamanya tidak hanya satu. Di era kepemimpinannya, belaiu mengakui lima agama besar yang sudah cukup lama berkembang di Indonesia. Supaya terhindar dari konflik antar agama, beliau selalu menghimbau tentang pentingnya kerukunan dan pengendalian diri masing-masing.


Di era reformasi, kita mengenal tokoh yang sangat humanis dan juga turut menyatakan bahwa Pancasila sudah final. Salah satu buku yang beliau karang (sebagai editor ) adalah "Ilusi Negara Islam-Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia". Didalam buku itu, banyak penjelasan yang mengupas tentang gerakan Islam Transnasional yang berkembang di Indonesia, Infiltrasi ideologi Wahabi dan Ikhwanul Muslimin dan infiltrasi agen-agen garis keras terhadap Islam Indonesia.


Dalam sebuah cerita yang dilansir oleh nu.or.id yang dikutip dari buku "Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus" karangan KH. Hussein Muhammad (2015), ketika ditanya "apa yang dimaksud dengan konsep negara islam?". Gus Dur menjawab dengan santainya "itu belum saya rumuskan", dan para hadiri yang hadir pun dibuat ngakak dan terpingkal-pingkal oleh jawaban Sang cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu.


Dalam sebuah artikel yang dilansir oleh kompasiana.com, Gus Dur pun pernah menyatakan bahwa Islam tidak memberikan konsep yang jelas mengenai tata letak sebuah negara, apakah hanya sebuah bangsa (wawasan etnis) ataukah negara bangsa (nation-state) atau negara kota (city-state). Mengenai bentuk negara, Islam tidak memberikan konsep yang gamblang untuk diterapkan.


Pendapat lain dari Gus Dur juga disampaikan pada acara Tausiah yang diadakan di Ujung Pangkah, Gresik tahun 2003, Gus Dur juga menyatakan bahwa "milo niku mboten perlu bingung-bingung diserang wong ga gelem gawe negoro Islam. Jawab e gampil mawon, wong ga wajib ae lo, nggawe yo apik ga nggawe yo wes". Yang artinya dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini : Sehingga itu, tidak perlu bingung-bingung jika diserang orang (kok) tidak mau pakai negara Islam. Jawabannya gampang saja, wong tidak wajib saja kan, pakai ya bagus,tidak pakai ya tidak apa-apa.


Selain itu, dilansir dari halaman tebuireng.online , jauh sebelum maraknya isu radikalisme agama saat ini, Gus Dur memberikan pandangannya tentang konsep negara Islam. Dalam bukunya yang berjudul "Tuhan Tidak Perlu Di Bela", tanpa menggunakan banyak dalil, Sang Presiden yang humoris ini menarasikan beberapa pandangan dari kaum "cupet" (suhu pendek, sesak) dengan narasi yang sederhana dan mudah dipahami. Menurut beliau, kalau memang Nabi Muhammad SAW menghendaki berdirinya negara Islam, mustahil masalah suksesi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak dirumuskan secara formal. Rasul hanya memerintahkan "bermusyawarahlah kalian dengan persoalan". Gus Dur pun pernah menuliskan dalam bukunya bahwa Ali Abdel Raziq di mesir pada tahun 1940an yang menuliskan Al Islam wa Qawa'id as Sulthan (Islam dan sendi-sendi kekuasaan) menyangkal adanya kerangka kenegaraan dalam Islam. Al Qur'an hanya menyebut negara "yang baik" yang penuh ampunan Tuhan (Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur).


NU dan Muhammadiyah Menolak Faham Khilafah

Untuk mempertegas bahwa faham khilafah dilarang di berkembangan di Indonesia, maka pada tanggal 31 Oktober 2018, Pimpinan Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) bertemu di gedung pusat Dakwah Muhammadiyah (Menteng, Jakarta Pusat). Dalam pertemuan tersebut, PBNU dan PP Muhammadiyah membahas berbagai hal terkait problem yang dihadapi bangsa Indonesia. Selain itu, kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini menandatangani empat poin pernyataan bersama yang didasari atas kesadaran akan pentingnya kedaulatan dan kemajuan bangsa dan negara. Dalam poin pertama pernyataan tersebut menyatakan bahwa PBNU dan PP Muhammadiyah sepakat meneguhkan Pancasila sebagai bentuk dan Sistem kenegaraan yang Islami.


"Berkomitmen kuat menegakkan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila sebagai bentuk dan sistem kenegaraan yang Islami. Bersama dengan itu menguatkan dan memperluas kebersamaan dengan seluruh komponen bangsa dalam meneguhkan integrasi nasional dalam suasana yang damai, persaudaraan, dan saling berbagi untuk persatuan dan kemajuan bangsa." bunyi poin pertama yang ditandatangani oleh kedua pimpinan Ormas Islam terbesar di Indonesia. Dilansir dari halaman kicknews.today.


Pembentukan Badan Pengarah Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)

Dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh detik.com, Mahfud MD menyatakan bahwa "latar belakang dibentuknya BPIP karena adanya ancaman terhadap ideologi Pancasila". Dalam kesempatan lain, saat di Taiwan (kebetulan saya hadir dalam seminar kebangsaan yang diadakan Persatuan Pelajar Indonesia Taiwan, dan sudah pernah saya bahas diartikel sebelumnya) Mahfud MD menyatakan bahwa konsep negara Indonesia ini adalah negara kebangsaan, bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Negara Indonesia merupakan negara yang berasaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu negara yang melindungi semua agama yang dianut warganya, sehingga negara tidak boleh menerapkan hukum agama dinegara Pancasila ini, kecuali hukum agama tersebut di-elektisasi terlebih dahulu di parlemen dan dijadikan hukum nasional. Hukum agama bisa masuk dalam hukum nasional dengan mengambil nilai-nilai dari hukum agama tersebut. Sehingga negara tidak memberlakukan hukum agama tapi mengambil nilai-nilai dari hukum agama tersebut. Negara melindungi setiap pemeluk agama dengan segala perbedaan-perbedaan, dan itulah yang disebut ā€œBhineka Tunggal Ikaā€, bersatu dalam keberagaman.


Adapun anggota dari BPIP ini adalah Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenaya. Adapun tugas dari BPIP ini adalah memberikan arahan kepada pelaksana terkait arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila.


Terancamnya Keutuhan Bangsa

Sebagai mayoritas, memang warga negara Indonesia yang beragama Islam tentu menginginkan aturan-aturan yang Islami dalam penyelenggaraan negara Indonesia. Begitupun dengan saya, yang notabene juga merupakan penganut agama yang dibawa oleh Rasullulah Muhammad SAW. Namun, saya sadar bahwa bangsa yang besar ini didirikan bersama, tidak hanya oleh orang-orang Muslim tapi juga oleh orang-orang yang juga berasal dari penganut agama selain muslim. Sehingga, tentu akan menjadi tidak adil dan berpotensi terjadi perpecahan jika tetap memaksakan menjadi negara Islam 100%.


Sebagai gambaran saja, menurut saya, jika tetap memaksakan diri sebagai negara Islam, tentu saudara-saudara kita yang berada di Indonesia bagian timur yang didominasi oleh penganut agama Kristen dan Katholik, seperti Papua, Maluku, NTT dan sebagian Sulawesi tentu akan menolak dan bahkan bisa berpotensi untuk memisahkan diri dari Indonesia. Begitupun dengan saudara-saudara kita yang ada dipulau Bali, dimana mayoritas beragama Hindu. Tentu hal ini sangat tidak diharapkan jika negara yang kita cintai ini menjadi terpecah belah.


Isu agama memang menjadi isu yang sangat sensitif dan sangat mudah dimainkan untuk mengadu domba warga negara. Sentimen keagamaan menjadi sasaran empuk untuk memecah belah Indonesia. Bahkan terkadang sesama muslim pun kita bisa saling bertikai, hanya karena berbeda sudut pandang. Hal ini sungguh sangat berbahaya bagi kondusifitas bangsa. Apa kita ingin seperti Irak dan Suriah? tentu tidak bukan. Kita ingin hidup bernegara dengan daman aman dan sentosa.


Oleh karena itu, maka kita sebagai mayoritas seharusnya dapat mengayomi saudara-saudara kita yang minoritas. Toleransi menjadi garda terdepan dalam membentengi serangan-serangan garis keras yang sudah masuk ke Negara Indonesia. Saling menekan ego masing-masing demi menjaga keutuhan bangsa.


Konsekuensi yang diakibatkan

Melihat berita akhir-akhir ini, dimana sering terjadi konflik horisontal baik antara sesama muslim maupun dengan non muslim, tentu hal ini akan berdampak negatif bagi Indonesia. Dengan mudahnya akses internet, maka Negara menjadi mudah untuk bahan pemberitaan internasional. Pemberitaan yang negatif pasti akan menurunkan tingkat kodusifitas negara, dan hal ini sudah pasti akan berdampak pada berbagai sektor, salah satunya sektor ekonomi. Dengan kondusifitas yang rendah, maka nantinya tidak akan ada lagi investor yang mau masuk ke Indonesia, nilai tukar Rupiah kita menjadi turun, sektor pariwisata menjadi anjlok dan lain sebagainya.


Kutipan Bung Karno

Dari paparan diatas, maka ayolah para putra-putri bangsa, sadarlah bahwa apa yang kita lakukan akan berdampak pada negara kita, baik itu positif maupun negatif. Hindari kegiatan atau bentrokan yang bisa menurunkan kondusifitas negara. Kita negara yang damai, dan berbudaya lembut. Mari selesaikan dengan kepala yang dingin dan hati yang tenang.


Saya sadar bahwa saya bukan orang yang belajar secara khusus tentang Islam secara mendalam. Pendidikan formal pun tidak ada yang ber-background Islam, misal Sekolah Islam. Dari kecil saya bersekolah di sekolah negeri biasa, dan kuliah pun mengambil jurusan teknik. Tapi yang ingin saya tekankan disini adalah tentang bagaimana kita saling bertoleransi dan menjaga ego masing-masing, khususnya pada hal yang bergesekan dengan agama, baik itu sesama umat Islam maupun dengan non-muslim. Meskipun kita tidak bersaudara secara agama, setidaknya kita bersaudara sebangsa dan setanah air. Makanan favorit kita pun masih sama yaitu Indomie dicampur nasi (hehehe). Apalagi yang harus diributkan?.


Sebagai warga negara yang beragama Islam, saya pribadi sudah merasa cukup dengan aturan-aturan yang ada di negara kita. Selama itu ber-asaskan Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, saya rasa sudah cukup dan sangat cukup. Karena saya yakin bahwa para ulama-ulama kita tentu akan menjadi benteng dan garda terdepan jika ada aturan yang bertentangan dengan syariat Islam.


Janganlah lagi ada yang menjadi duri dalam daging ataupun musuh didalam selimut. Mari bersatu bersama mewujudkan negara yang damai.


Khusus untuk saudara-saudaraku sesama muslim, janganlah anda-anda merasa paling benar diantara yang lainnya. Janganlah saling menyalahkan, jika memang ada dasar pendapat yang berbeda. Hanya Allah SWT yang berhak menilai kadar ke-Islaman dan keimanan seseorang. Janganlah terlalu mudah untuk meng-kafir-kafirkan seseorang. Seperti kata Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab " Kita Bersaudara, tidak usah saling tegang. Surga itu terlalu luas sehingga tidak perlu memonopoli untuk diri sendiri". Habib Lutfi bin Yahya pun berpesan bahwa "Persatuan dan kesatuan merupakan benteng yang kokoh, dan jangan sampai diruntuhkan, NKRI kita jaga agar semakin kuat". Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) juga berpesan untuk tidak saling merendahkan. Beliau mengatakan "Merendahkan orang lain tidak membuat kita luhur, malah justru menistakan diri kita". Almarhum KH. Hasyim Muzadi pun turut berpesan "pikirkan kekuranganmu sehingga kamu tidak sempat memikirkan kekurangan orang lain".


Untuk para tokoh-tokoh agama, khususnya yang viral di media maupun media sosial. Berikan contoh yang baik dan ceramah yang baik untuk para umat yang masih haus akan ilmu agama. Jangan engkau berikan cacian, umpatan dan dalil-dalil "pembenaran" untuk sesuatu yang bisa meruntuhkan persatuan bangsa. Kami hadir di pengajian untuk mendapatkan siraman rohani, bukan untuk mendengarkan siraman kebencian.


Untuk saudara-saudaraku yang non-muslim, ingat bahwa kita masih saudara sebangsa-setanah air. Tetap jaga toleransi dan jangan mudah untuk terpancing dengan oknum-oknum yang "mengatasnamakan Islam". Kita perlu mencontoh dan mengambil pelajaran dari kejadian yang baru saja terjadi di New Zealand, dimana aksi terorisme bukan malah menjadikan kita terpecah, tapi malah menjadi pengikat untuk saling menjaga persatuan bangsa. Kita harus bisa hidup berdampingan. Seperti kata Gus Miftah dalam video Deddy Corbuzier "Negara itu ibarat rumah dan agama adalah kamarnya. Selama masalah keagamaan itu dibicarakan dalam kamar agama itu sendiri, tentu tidak akan menjadi masalah. Yang bermasalah jika itu dibicarakan dikamar agama lain atau diruang tamu". Bagi saya yang muslim, saya berpegang pada "lakum dinukum waliyadin", bagiku agamaku dan bagimu agamamu.


Dan untuk saudara-saudaraku sebangsa & setanah air yang masih berada dalam lingkaran ekstrimisme dan radikalisme, cukuplah sudah. Mari kita hidup dengan damai, sudahi aksi-aksi provokatif yang berpotensi memecah belah bangsa. Jangan ada lagi deklarasi-deklarasi negara selain Negara Kesatuan Republik Indonesia, jangan lagi ada deklarasi ideologi negara selain Pancasila. Ingat bahwa kita sedang coba digoyangkan oleh negara-negara asing yang ingin mengambil kesempatan jika Indonesia terpecah. Kita negara yang besar, kita kembalikan lagi kebesaran negara kita seperti dijaman awal-awal kemerdekaan, dimana negara-negara lain memandang Indonesia sebagai negara yang besar.


Buatlah kami-kami yang untuk sementara waktu "terpaksa" tinggal di Luar Negeri ini bangga saat kami mengenalkan diri bahwa kami berasal dari Indonesia, bangga menyandang status WNI, bangga dengan bendera kita.


Dari semua yang saya sampaikan diatas, saya teringat apa yang Bung Karno katakan, yaitu

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.

Apakah ini yang dimaksud oleh Bung KARNO? Wallahu a'lam.

RBS

Taiwan, 24 Maret 2019


Jika ada yang tidak tepat dalam artikel ini, silahkan berikan kritik dan saran pada Link ini.


ควาดคณดเห็น


"Allah is He who created death and life to test you as to which of you is best in deed" - Qur'an, Al Mulk 67:2

06 Logo FIX RED 2.png

Yakinlah Sambatmu kelak akan mengubah dunia

@2023 Bennysukmara.com

bottom of page